Selasa, 20 Juli 2010

Nelayan Tongas Pemburu Rajungan Ketika Hasil Tangkapannya Menurun

[ Sabtu, 17 Juli 2010 ]
Hasil Tak Sebanding Pengeluaran

Nelayan-nelayan pemburu rajungan sudah lama ada di pesisir kecamatan Tongas Kabupaten Probolinggo. Tapi, baru beberapa pekan terakhir mereka merasakan begitu drastisnya penurunan hasil tangkapannya.

MUHAMMAD FAHMI, Probolinggo

WAJAH Muchlisin, 51, tampak kusam. Tak ada senyum sedikitpun di wajahnya. Saat itu Rabu (14/7) sekitar pukul 10.00, Muchlisin baru datang dari melaut. Perahu sederhananya ditambatkan di bibir sungai yang berjarak sekitar 100 meter dari pantai Tongas Wetan.

Beranjak dari perahunya, Muchlisin menenteng dua buah timba berukuran sedang. Ia kemudian bergerak menuju rumahnya yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat perahunya tertambat.

Dua timba itu lantas ditaruhnya di dalam ruang tamu rumahnya. Dua timba itu berisi rajungan hasil tangkapan Muchlisin. Tapi, keduanya tak terisi penuh. Itulah rajungan hasil tangkapan Muchlisin hari itu.

Ya, Muchlisin memang salah satu nelayan rajungan asal dusun Medokan, desa Tongas Wetan Kabupaten Probolinggo. "Beberapa hari terakhir ini memang sepi mas. Hari ini saja hanya dapat 2 kg," ujarnya kepada Radar Bromo sambil memperlihatkan dua buah timba warna hitam yang berisi rajungan tersebut.

Tangkapan itu dirasanya jauh menurun dibanding dengan beberapa bulan sebelumnya. Beberapa bulan yang lalu, Muchlisin mengaku bisa mendapatkan rajungan sampai 30 kg bila sedang beruntung.

"Bahkan nelayan rajungan lainnya bisa sampai mendapatkan 50 kg. Kalau sekarang ini, setiap harinya paling dapat antara 2-3 kg. Mentok dapat 5 kg, itu sudah bagus," keluh Muclisin.

Joko, 27, nelayan lainnya yang masih anak dari Muclisin bahkan mengaku pernah sama sekali tidak mendapatkan hasil. "Itu (tidak mendapatkan hasil) bukan hanya sehari saja, tetapi sudah beberapa kali," terang Joko yang saat itu berkaos hitam.

Padahal menurut Joko berburu rajungan sedianya tidak terlalu sulit. Cuma untuk berburu rajungan ini sedikit berbeda dengan trik berburu ikan. Nelayan rajungan harus mempunyai alat khusus untuk menangkap rajungan yang populasinya ada di dasar laut.

Alat untuk menangkap rajungan ini biasa disebut warga dengan wuwu. "Atau yang populer ada juga yang menyebutnya pintur," terang Joko sambil menunjukkan alat tersebut.

Alat yang akrab disebut pintur ini bentuknya kubus, seluruh permukaannya terbuat dari jaring. Alat itu mempunyai dua pintu masuk di sisi kiri dan kananya.

Cuma bentuk pintu masuk itu menyempit. "Cara memakainya, di tengah-tengah pintur ini diberi umpan berupa ikan. Dengan begitu nanti rajungan akan datang dan masuk lewat dua pintu kecil ini. Kalau sudah masuk, tidak bisa keluar, karena tempat masuknya itu sudah dirancang khusus," jelas Joko.

Pintur itu biasanya disambung dengan tali tampar yang agak panjang. Lantas diletakkan di dasar laut. Di tali tampar pengait pintur itu diberi alat pelampung sekaligus bendera untuk pertanda.

Setelah siap, pintur itu diletakkan di dasar laut. "Nanti tinggal menunggu saja. Biasanya diletakkan sehari semalam. Siang sebelum pulang melaut dipasang, paginya diambil untuk dipanen," beber Joko.

Karena itu banyak tidaknya tangkapan rajungan itu tergantung juga dengan banyak tidaknya nelayan mempunyai pintur selain faktor angin (biasanya kalau angin dari utara dan dari timur berembus, tangkapan bertambah). Muchlisin dan Joko sendiri tidak terlalu mempunyai banyak pintur. Total mereka mempunyai 70 pintur. "Kalau nelayan yang besar, bisa punya sampai 400 pintur," beber Muchlisin.

Tetapi di saat sepi seperti sekarang ini, menurut Joko banyaknya pintur juga tidak terlalu berpengaruh pada hasil tangkapan. "Rata-rata nelayan rajungan banyak yang mengeluhkan tangkapannya merosot. Ini karena faktor alam," kata Joko sambil menerawang.

Beberapa nelayan rajungan meyakini kalau beberapa minggu terakhir ini kawasan perairan di pesisir Tongas sedang tercemar limbah. "Katanya memang ada limbah. Mungkin dari minyak kapal yang tumpah," prediksi Joko.

"Tetapi limbahnya itu mungkin hanya di dasar laut. Sebab yang banyak mati itu adalah rajungan yang ada di dasar laut. Ikan-ikan lainnya tetap masih banyak. Saya juga heran," kata Joko.

Secara otomatis merosotnya tangkapan itu juga sangat berpengaruh pada pendapatan para nelayan. Joko mengaku pendapatan nelayan rajungan selama sehari melaut tidak pernah lebih dari Rp 100 ribu.

Joko menjelaskan, setiap kg rajungan laku ia jual kepada pengepul dengan harga Rp 24 ribu. Nah, bila sehari hanya mendapatkan 2-3 kilogram saja, jadi tinggal dikalikan saja. Jadi sehari-harinya mendapatkan sekitar Rp 50 ribu.

"Itu (penghasilan) jelas tidak nutut. Bayangkan saja kalau melaut itu setidaknya butuh solar untuk perahu. Sekali melaut bisa sampai menghabiskan 2 liter solar yang seliternya seharga Rp 10 ribu. Belum lagi beli ikan untuk umpan rajungan dan tampar untuk pengait pinturnya. Bisa dikalkulasi sendiri," jlentreh Joko.

Karena minimnya tangkapan itulah, Joko mengaku saat ini banyak nelayan rajungan yang tidak hanya berburu rajungan melulu. "Sekarang ini pokoknya kalau ada alatnya, ya dijaring. Banyak juga yang menjaring tongkol. Tetapi, tetap tidak meninggalkan rajungan. Daerah sini (Tongas) sudah terkenal dengan rajungannya," beber Muchlisin.

Hal berbeda sedikit dilakukan oleh Sunari, nelayan rajungan lainnya yang masih bertetangga dengan Muchlisin. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Sunari juag membuka warung. "Sekarang ini harus pintar-pintar cari uang," katanya.

Keluhan beberapa nelayan rajungan itu sampai di telinga kepala desa dan camat stempat. "Nelayan itu kalau mengeluh ya ke kades dan camat," kata Camat Tongas Priyadi.

Pihak pemerintah setempat pun bukannya tidak melakukan upaya pemecahan masalah tersebut. Priyadi menyatakan, ia sepakat dengat prediksi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Dedy Isfandi yang menilai merosotnya tangkapan rajungan itu bukan karena adanya pencemaran limbah. Tapi karena populasi rajungan memang jauh menurun.

"Saat ini yang menangkap rajungan itu sudah melebihi kapasitas dibanding dengan perkembangbiakan rajungan itu sendiri. Sehingga hal ini membuat populasi rajungan menurun," jelas Dedy kepada Radar Bromo sebelumnya.

Dedy mencontohkan, dahulu konsumen bisa mendapatkan rajungan di pasar-pasar dengan ukuran yang cukup besar. Sekarang, ukurannya sudah jauh menurun. "Kalau dulu itu rata-rata rajungan lebarnya sekitar 10-15 cm baru diambil, tetapi kalau sekarang baru 2-5 cm saja sudah diambil," jelas Dedy. (yud)

Sumber: http://jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=170291

Tidak ada komentar:

Posting Komentar