Kamis, 04 November 2010

DPRD Jatim Tolak Penutupan Tujuh PG

Kamis, 04 Nopember 2010

SURABAYA – Rencana penutupan tujuh pabrik gula (PG) oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI ditentang Komisi B DPRD Jatim. Mereka menganggap, pabrik gula tersebut masih dibutuhkan para petani tebu.

Enam pabrik gula yang akan ditutup itu, masing-masing tiga unit, berada di Kabupaten Situbon do dan Kabupaten Probolinggo. Satu unit lainnya berada di Kabu paten Madiun. Di antaranya, PG Olehan, Wringin, dan Ranji (keti ganya di Kabupaten Situbondo). Selain itu, PG Wonolangan, Pajarakan, dan Gending (ketiganya di Kabupaten Probilinggo) serta PG Kanigoro (Kabupaten Madiun).

Wakil Ketua Komisi B DPRD Jatim Anna Luthfie menyatakan, ada beberapa hal yang membuat pihaknya menolak penutupan tujuh pabrik gula itu. Salah satunya, penutupan PG kontradiktif dengan agenda swasembada gula nasional yang ditargetkan terpenuhi pada 2014. Selain itu, kata dia, penutupan PG bisa melahirkan problem sosial yang berat. ’’Para petani tebu di wilayah PG masing-masing akan kehilangan jaringan pergulaan yang sudah dibangun berpuluhpuluh tahun,’’ terangnya.

Dia mengungkapkan bahwa penutupan tersebut bertentangan dengan agenda revitalisasi pabrik gula yang dicanangkan sebelumnya.

’’Pada 2011, pemerintah akan mengalokasikan dana sekitar Rp 3 triliun untuk agenda revitalisasi pabrik gula,’’ terang kader PAN itu.

Luthfie menuturkan, tujuh pabrik gula tersebut memiliki nilai historis dalam pembangunan Jawa Timur.

’’Pabrik gula itu berdiri sudah lama. Keberadaannya telah menorehkan modal sosial yang besar dan tak ternilai dengan uang berapa pun,’’ paparnya. ’’Karena itu, pabrik gula tersebut wajib dipertahankan dan diperbaiki,’’ imbuhnya.

Sebelumnya, rencana penutupan tujuh PG tersebut disampaikan manajemen PTPN XI saat mengadakan hearing bersama Komisi B DPRD Jatim pekan lalu. Penutupan dilakukan karena tujuh PG tu disebut mengalami kerugian miliaran rupiah setiap tahun.

Namun, Luthfie tetap tidak sepakat dengan penutupan tersebut. Dia menduga, ada pihak ketiga yang berkepentingan dengan penutupan tujuh PG itu. Hal terse but terkait dengan rencana pendi rian PG swasta di Banyuwangi yang tidak ditunjang lahan budi daya tebu yang memadai. ’’Nah, jika tujuh PG itu ditutup, para petani terpaksa mengirim tebu ke PG swasta tersebut,’’ tuturnya. (dim/c12/oni)

Sumber: http://www.jpnn.com

Bedah Rumah Bakal Digarap Sendiri

Kamis, 4 Nopember 2010 | 11:11 WIB

PROBOLINGGO - Program perbaikan rumah keluarga miskin (gakin) di Kota Probolinggo yang dikerjakan rekanan menyisakan sejumlah masalah terutama kualitas bangunan. Karena itu, program bedah rumah pada 2011 yang bakal menelan biaya sekitar Rp 1 miliar diusulkan dikerjakan sendiri oleh pemilik rumah.

’’Kami baru saja pulang dari studi banding di Bogor dan Jakarta. Di sana, program bedah rumah warga miskin dikerjakan sendiri oleh pemilik rumah, ternyata hasilnya lebih bagus,” ujar Ketua Komisi C DPRD Kota Probolinggo, Nasution, Rabu (3/11).

Caranya, warga miskin diberi uang yang harus dibelanjakan untuk membeli material bangunan dan bayar tukang. “Proses bedah rumah dikontrol kelompok kerja yang dibentuk lurah. Pokja juga membantu administrasi penggunaan uang, contohnya SPJ pembelian material,” ujar politisi PDIP itu.

Program bedah rumah di Bogor dan Jakarta, kata Nasution, juga melibatkan sejumlah perusahaan swasta. “Perusahaan semen misalnya, banyak membantu semen untuk rehab rumah,” ujarnya.

Diakui baik di Bogor dan Jakarta, maupun di Probolinggo anggaran bedah rumah pun dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. “Namanya pajak, ya secara nasional berlaku,” ujarnya.

Terkait program bedah rumah di Kota Probolinggo, Komisi C telah melakukan investigasi di lapangan sekaligus evaluasi. “Terus terang program bedah rumah di Kota Probolinggo hasilnya di sana-sini masih banyak kekurangan, terutama menyangkut kualitas bangunan,” ujar Nasution.

Saat Komisi C melakukan sidak di lapangan misalnya, dijumpai rumah warga miskin itu masih kurang layak meskipun sudah diperbaiki. Di antara penyebabnya karena program bedah rumah dengan anggaran Rp 10 juta/rumah itu dikerjakan pihak ketiga (rekanan).

“Ya bayangkan saja uang Rp 10 juta dipotong PPN 10%, belum lagi rekanan kan mencari keuntungan. Akhirnya yang benar-benar digunakan untuk rehab rumah warga miskin ya sedikit,” ujar Nasution.

Saat sidak pun Komisi C menemukan sejumlah rumah yang kurang layak huni. Nasution sampai menegur konsultan karena rumah yang telah direhab kurang layak. “Mosok ada rumah yang kayu usuknya melengkung, apa tidak membahayakan penghuninya kalau atapnya sampai ambruk,” ujarnya.

Setelah melakukan studi banding di Bogor dan Jakarta, 25-28 Oktober lalu, Komisi C bakal merekomendasikan program bedah rumah pada 2011 dikerjakan sendiri oleh pemilik rumah. “Kalau uang Rp 10 juta (dipotong PPN 10%, Red.) diberikan ke pemilik rumah, tidak mungkin ia membeli semen di-mark-up, wong untuk rumahnya sendiri.”

Seperti diketahui pada 2010 ini APBD mematok anggaran Rp 1 miliar untuk merehab 100 rumah warga miskin. “Melalui PAK (perubahan anggaran keuangan, Red.) menjadi Rp 1 miliar lebih,” ujar Nasution.

Proyek bedah rumah sebanyak 100 unit memang ditangani Badan Pemberdayaa Masyarakat (Bapemas) Kota Probolinggo. Selain Bapemas, sejumlah instansi di lingkungan Pemkot Probolinggo juga menggelindingkan program serupa.

Pada 2010 misalnya, 300 unit rumah tidak layak huni berhasil “dikeroyok” sejumlah instansi di Pemkot Probolinggo. Jumlah rumah tidak layak huni mencapai sekitar 1.300 unit. “Sebanyak 1.000 unit diperbaiki Pemprov Jatim, yang pelaksananya dilakukan Kodim 0820 Probolinggo,” ujar Kepala Bapemas Soeparjono. Sementara sisanya yang 300 unit dituntaskan Pemkot Probolinggo. isa

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=ce8876fe932017096a05c309cbb803c5&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

DPD: Ada Mafia di Balik PG

Kamis, 4 Nopember 2010 | 11:03 WIB

PROBOLINGGO – Rencana penutupan 7 pabrik gula (PG) di Jatim oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI mendapat sorotan anggota Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Abdul Sudarsono. Ia mencium gelagat adanya mafia, karena akan ada pendirian PG baru oleh PT Kertas Leces bersama PTPN XI.

“Modus seperti itu pernah terjadi ketika sebuah PG baru hendak dibangun di Banyuwangi, sekitar setahun lalu. Saya menentang keras pendirian PG swasta baru di Banyuwangi saat itu, karena memang tidak masuk akal. Mosok APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat, Red.) yang tidak punya uang, hanya bermodal lahan, mau mendirikan PG baru bersama PTPN XII yang selama ini mengelola perkebunan kakao dan kopi,” ungkap Sudarsono setelah acara pertemuan dengan jajaran Pemkab Probolinggo di Ruang Tengger, Rabu (3/11).

Pertemuan itu terkait dengan laporan dari serikat pekerja tentang rencana penutupan tiga PG di Kabupaten Probolinggo yang sampai ke tangan DPD. Sudarsono juga mendapat informasi tentang rencana pendirian PG baru di kompleks PT Kertas Leces (PT KL). Menurut Sudarsono, penutupan tiga PG itu diyakini berakibat menganggurnya ribuan pekerja, sementara pendirian PG baru bakal terkendala ketersediaan lahan tebu.

“Saya setuju saja PG baru didirikan, asalkan tidak menutup tiga PG yang ada. Penutupan tiga PG di Probolinggo apa sudah dikaji dampak negatifnya,” ujar Sudarsono.

Anggota DPD asal Jatim itu menambahkan, kalau setiap PG mempunyai sekitar 2.000 pekerja, maka penutupan tiga PG di Kab. Probolinggo mengakibatkan 6.000 pekerja menganggur. “Saya tidak percaya dengan jaminan dari Direksi PTPN XI bahwa mereka bakal dipekerjakan di PG yang baru,” ujarnya.

Rencana penutupan tiga PG di Kabupaten Probolinggo yakni, PG Wonolangan, PG Padjarakan, dan PG Gending, direaksi serikat pekerja perkebunan di tiga PG tersebut. “Serikat pekerja perkebunan di tiga PG itu sudah melayangkan protes, suratnya sudah sampai di meja kami,” ujar Sudarsono.

Daripada ditutup, kata Sudarsono, lebih baik ketiga PG di Probolinggo direvitalisasi. “Apalagi pada 2011 mendatang pemerintah bakal mengucurkan dana Rp 1 triliun untuk revitalisasi PG se-Indonesia,” ujarnya.

Selain tiga PG di Kabupaten Probolinggo, PG lain yang akan ditutup PTPN XI adalah tiga lainnya di Kabupaten Situbondo (PG Olean, PG Wringinanom, dan PG Pandjie), dan satu di Kabupaten Madiun (PG Kanigoro). Alasan PTPN XI menutup tujuh PG itu pada 2011, karena selama lima tahun terakhir setiap PG merugi sekitar Rp 9-10 miliar/tahun. “Kalau alasan penutupan PG seperti itu, hal itu menunjukkan PTPN XI hanya main tutup tanpa berusaha membenahi industri gula,” ujar Sudarsono.

Ia juga mempertanyakan rencana pendirian PG baru oleh PT Kertas Leces. Sudarsono mengatakan, permasalahan yang dialami ketiga PG itu selama ini kekurangan tebu. PG Wonolangan memerlukan bahan baku tebu 1.600 TCD (ton cane day/ton tebu per hari), PG Padjarakan 1.200 TCD, dan PT Gending 1.700 TCD. “Karena tidak punya lahan tebu yang cukup, tiga PG di Probolinggo itu mendatangkan tebu dari Lumajang. Ini yang menjadi masalah,” ujarnya. “Kalau masalah ini tidak diatasi, kemudian PG baru di Leces didirikan, ya masalah tersebut bakal terus bercokol,” tandasnya.

Disinggung soal jaminan dari Bupati Probolinggo, Drs H Hasan Aminuddin MSi, yang bakal menawarkan 40.000 hektare lahan kritis potensial untuk ditanami tebu, Sudarsono mengatakan, itu baru potensi lahan. “Itu baru potensi, tetapi merealisasikan lahan tebu yang memadai bukan perkara gampang,” ujarnya.

Alasan PT Kertas Leces mendirikan PG sebagai penyokong bahan baku kertas yang berasal dari limbah ampas tebu (bagase), kata Sudarsono, juga tidak bisa diterima. “Kalau alasannya PT Kertas Leces butuh ampas tebu, mengapa tidak beli saja ke PG yang sudah ada, wong PG juga di bawah Kementerian BUMN, sama dengan Kertas Leces,” ujarnya.

Sudarsono juga mengingatkan, PT Kertas Leces sudah kolaps, sehingga jangan diberi beban dengan pendirian PG baru. “Saya juga meragukan kemampuan Kertas Leces yang selama ini berkutat di produksi kertas, lalu mengelola industri gula,” ujarnya.

Sementara itu, petani tebu di Kabupaten Jember menolak rencana penutupan 7 PG oleh PTPN XI. Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) Jember, Marzuki Abdul Ghafur, mengemukakan, penutupan 7 PG itu akan merugikan pemerintah. "Stok gula nasional secara otomatis akan berkurang karena penutupan tujuh PG itu, bahkan rencana pemerintah melakukan swasembada gula akan terhambat," kata Marzuki, yang juga Wakil Ketua DPRD Jember itu.

Ia menilai kerugian yang dialami pihak PTPN XI disebabkan sejumlah persoalan yang terjadi di pihak manajemen sendiri. "Penutupan PG bukan merupakan solusi yang tepat. Kalau ada persoalan di manajemen PTPN XI, seharusnya pihak manajemen yang dibenahi, bukan menutup PG," tegasnya.

Hal senada disampaikan Ketua Paguyuban Petani Tebu Rakyat (PPTR) Jember, Mohammad Ali Fikri. Menurut dia, penutupan PG merupakan suatu hal ironis di tengah harga gula yang mulai membaik dan mengejar rencana pemerintah untuk swasembada gula. "Saya mendukung tujuh PG itu diambil alih oleh Pemprov Jatim untuk target swasembada gula di Jatim," katanya. isa

7 PABRIK GULA YANG AKAN DITUTUP

Nama Lokasi Kapasitas Produksi

PG Olean Kabupaten Situbondo 1.050 ton/hari

PG Wringinanom Kabupaten Situbondo 1.128 ton/hari

PG Pandjie Kabupaten Situbondo 1.700 ton/hari

PG Wonolangan Kabupaten Probolinggo 1.742 ton/hari

PG Padjarakan Kabupaten Probolinggo 1.382 ton/hari

PG Gending Kabupaten Probolinggo 1.750 ton/hari

PG Kanigoro Kabupaten Madiun 1.950 ton/hari

PABRIK GULA LAIN YANG DIKELOLA PTPN XI

Nama Lokasi Kapasitas Produksi

PG Soedhono Kabupaten Ngawi 2.800 ton/hari

PG Poerwodadie Kabupaten Magetan 2.312 ton/hari

PG Redjosarie Kabupaten Magetan 2.675 ton/hari

PG Pagottan Kabupaten Madiun 3.000 ton/hari

PG Kedawoeng Kabupaten Pasuruan 2.363 ton/hari

PG Djatiroto Kabupaten Lumajang 8.000 ton/hari

PG Semboro Kabupaten Jember. 7.000 ton/hari

PG Assembagoes Kabupaten Situbondo 3.000 ton/hari

PG Pradjekan Kabupaten Bondowoso 2.926 ton/hari

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=93ece5243112587b598afe09d6fb956c&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5

Adig: Tak Mudah Lakukan Penggabungan 7 Pabrik Gula

Kamis, 4 Nopember 2010 | 11:03 WIB

SURABAYA - Sekretaris Perusahaan PTPN XI Adig Suwandi di Surabaya, Rabu (3/11), menjelaskan, pihaknya tengah mengkaji rencana penggabungan atau amalgamasi 7 pabrik gula (PG) yang akan ditutup. Dari hasil kajian itu akan diketahui kebutuhan tebu ideal untuk memenuhi kapasitas giling bagi PG tersebut.

"Tidak mudah melakukan amalgamasi PG. Selain pertimbangan ekonomis dan finansial, dampak sosialnya juga perlu diperhatikan, termasuk penyaluran tenaga kerja dan komunitas lokal yang selama ini menggantungkan hidupnya dari PG," katanya.

Adig Suwandi menjelaskan, PTPN XI berharap ada dukungan lahan dari pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat sekitar PG, kalau ingin 7 PG itu dipertahankan operasionalnya. Dalam pertemuan koordinasi yang dihadiri Gubernur Soekarwo, Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, serta jajaran manajemen PTPN X dan XI, kata Adig, telah ditegaskan untuk segera membentuk tim teknis yang antara lain bertugas menyusun strategi revitalisasi PG di Jatim.

"Setelah rampung, konsepnya akan dibahas bersama para bupati dan walikota yang di daerahnya terdapat PG, khususnya dalam penyediaan lahan budidaya tebu," terang Adig. “Nantinya diharapkan semua tebu untuk bahan baku giling sebuah pabrik gula berasal dari wilayah sekitarnya, bukan dari tempat yang jauh dengan konsekuensi ongkos transportasi mahal,” lanjutnya.

Adig mencontohkan 3 PG di Kabupaten Probolinggo, yakni Wonolangan, Gending, dan Padjarakan, yang total berkapasitas 3.700 ton tebu per hari, kebutuhan tebunya mencapai 555 ribu ton, sementara yang bisa dipenuhi dari potensi lokal hanya 140 ribu ton. Kekurangan bahan baku tebu diambil dari wilayah Kabupaten Lumajang yang surplus.

Secara finansial, lanjut Adig, sebenarnya masih lebih menguntungkan memanfaatkan semua tebu Lumajang dengan meningkatkan kapasitas PG Djatiroto yang ada di wilayah itu, dari 5.500 menjadi 10.000 atau bahkan 12.000 ton tebu per hari.

Kondisi serupa terjadi pada 3 PG di Kabupaten Situbondo, yakni Wringinanom, Olean, dan Pandjie, yang memiliki total kapasitas produksi 4.500 ton tebu per hari. "Kebutuhan ideal tebu untuk 3 PG itu sekitar 675 ribu ton, tetapi kemampuan pasokan tebu lokal hanya 110 ribu ton. Lima PG di kawasan Madiun dan sekitarnya juga mengalami nasib serupa," papar Adig. ant

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=5929b09ff0e1466b877ef60483627055&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5

Panen Tembakau Tuntas, Rugi Rp 14 M
Kamis, 4 Nopember 2010 | 10:16 WIB

PROBOLINGGO - Akibat kemarau diselingi hujan (kemarau basah), sebagian petani tembakau jenis Paiton Voor Oogst (Paiton VO) di Kab Probolinggo rugi besar tahun ini. ’’Kalau dihitung-hitung, dari luas areal tembakau 11.465 hektare di Kab Probolinggo, petani merugi sekitar Rp 25 miliar,” ujar Wakil Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kab Probolinggo H Muzammil, Rabu (3/10).

Sejak pertengahan Oktober lalu, kata Muzammil, panen tembakau sudah habis. Lima gudang pembelian milik pabrik rokok juga sudah tutup sekitar dua minggu lalu. ’’Kalaupun ada tembakau yang tersisa ya dirajang untuk dijual di pasar lokal,” ujarnya.

Muzammil mencontohkan dirinya tahun ini menanam tembakau sekitar 4 hektare. Lahan seluas itu dikerjakan dengan sistem bagi hasil dengan petani penggarap. Dia mengeluarkan biaya pembelian benih tembakau, pupuk, dan obat-obatan. ’’Setiap hektare, saya keluar biaya Rp 3,5 juta. Biaya garap tanah dan perawatan ditanggung petani penggarap,” ujarnya.

Setelah panen 4 hektare lahan tembakaunya, Muzammil hanya mengantongi Rp 6 juta. “Bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dengan lahan yang sama saya bisa mengantongi Rp 50 juta-Rp60 juta,” ujarnya.

Kondisi jeblok ini tidak hanya dialami Muzammil, tetapi juga ribuan petani tembakau di Kab Probolinggo. “Saya kasihan dengan petani kecil yang modalnya utang,” ujarnya.

Disinggung soal penyebab rusaknya tembakau di Probolinggo, Muzammil menyebut dipicu faktor cuaca. “Musim kemarau diwarnai hujan menjadi penyebab rusaknya tembakau. Tetapi saya tidak menghujat Allah, yang menurunka hujan. Mudah-mudahan tahun depan diganti dengan panen lebih baik,” ujar Ketua Badan Amil Zakat (BAZ) Kab Probolinggo itu.

Guyuran hujan, kata Muzammil, mengakibatkan tembakau rajangan yang dijemur mengitam warnanya. “Kalau warna tembakau menghitam atau tambelik harganya jatuh menjadi Rp 8.000 per kilogram. Padahal jika penjemuran tembakau sempurna, harganya Rp 30 ribu-Rp 32 ribu,” ujarnya.

Selisih harga tembakau rajangan berkualitas dengan tembakau tambelik inilah yang kemudian dihitung pihak APTI. “Akhirnya ditemukan, setiap hari ada kerugian sekitar Rp 1,4 miliar,” ujarnya.

Disinggung apakah petani masih bergairah menanam tembakau lagi pada masa tanam (MT) 2011, Muzammil memperkirakan, lahan tembakau bakal menyempit. “Bisa-bisa yang sekarang gagal panen, pada masa tanam yang dimulai Juni-Juli 2011 nanti mereka kapok menanam tembakau,” ujarnya.

Diakui pada MT 2010 ini areal tembakau membengkak. “Soalnya pada 2009 lalu panen tembakau menggembirakan, sehingga petani berlomba-lomba memperluas areal,” ujar Muzammil. Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Kab Probolinggo menargetkan 7.923 Ha areal tembakau. Kenyataannya di lapangan, petani menanam tembakau hingga 11.465 Ha.

Muzammil menyarankan, petani yang ragu menanam tembakau karena dihantui musim yang tidak menentu, sebaiknya mencari tanaman pengganti. “Lahan tembakau kan bisa ditanami palawija,” ujarnya.

Disinggung tawaran PT Kertas Leces (PT KL) yang hendak membuka areal perkebunan tebu sekitar 30.000 Ha terkait rencana pabrik kertas itu membangun pabrik gula, Muzammil mengatakan, agak sulit mengganti tembakau dengan tebu. ’’Tebu baru bisa dipanen umur 18 bulan atau kalau tebu keprasan 12 bulan, sementara tembakau 3 bulan sudah panen,” ujarnya. isa

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=569fc4df8df46dd5a0a20356d4a4cf9d&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

Penutupan Tujuh Pabrik Gula Ancam Swasembada Gula

Kamis, 04 November 2010 10:12 WIB

JEMBER--MICOM: Serikat Pekerja Paguyuban Petani Tebu Rakyat (PPTR) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI menilai penutupan tujuh pabrik gula di Jawa Timur mengancam program swasembada gula yang ditargetkan pemerintah pada 2014.

"Saya pesimistis swasembada gula akan tercapai, apabila tujuh pabrik gula (PG) di Jatim ditutup," kata pelaksana harian (Plh) Ketua Serikat Pekerja PPTR PTPN XI, M Ali Fikri, di Kabupaten Jember, Kamis (4/11).

PTPN XI berencana menutup tujuh pabrik gula karena alasan merugi meliputi tiga PG di Kabupaten Situbondo, yakni PG Olehan dengan kapasitas produksi 800 ton per hari, PG Wringin kapasitas produksi 1.300 ton per hari dan PG Panji dengan produksi 1.500 ton per hari.

Kemudian tiga pabrik gula lainnya berada di Kabupaten Probolinggo, yakni PG Wonolangan kapasitas produksi 1.600 ton per hari, PG Pajarakan (1.200 ton/hari) dan PG Gending dengan kapasitas produksi 1.700 ton per hari. Satu lagi adalah PG Kanigoro di Kabupaten Madiun.

Menurut petani tebu Jember itu, alasan PTPN XI merugi selama mengoperasionalkan tujuh PG tersebut tidak masuk akal karena setiap tahun terdapat surplus gula di Jatim.

"Luas lahan tebu di Jatim sekitar 186 ribu hektare dan suplai tebu Jatim 2010 diprediksi surplus sebanyak 350 ribu ton dari kebutuhan PG di Jatim," paparnya.

Fikri menjelaskan, kerugian yang dialami beberapa pabrik gula milik PTPN XI di Jatiim karena menurunnya pasokan tebu petani ke PG tersebut, sehingga Direksi PTPN XI seharusnya melakukan evaluasi terhadap persoalan itu.

"Banyak petani yang enggan menjual tebu hasil panen mereka ke PG milik PTPN XI dan memilih menjual ke PG milik PTPN X, RNI, dan PG swasta karena alasan keuntungan," tuturnya.

Ia mengemukakan, petani memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp35 juta per hektare apabila menjual hasil panen tebu ke PG milik PTPN XI. Sedangkan petani akan mendapatkan pendapatan kotor sebesar Rp55 juta per hektare, apabila menjual hasil panen tebu ke PG lain.

"Petani harus berpikir realistis untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, sehingga menjual tebu hasil panennya ke luar PG milik PTPN XI," tegas petani tebu asal Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember itu.

PPTR PTPN XI berharap Pemerintah Provinsi Jatim segera mengambil alih tujuh PG di Jatim untuk mempertahankan stok gula di Jatim.

"Kemungkinan kerugian yang dialami pihak PTPN XI karena sejumlah persoalan yang terjadi di pihak manajemen setempat, sehingga manajemen itu yang harus dibenahi. Kami berharap ada audit di manajemen PTPN XI itu," ujarnya. (Ant/OL-3)

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/04/179635/4/2/Penutupan-Tujuh-Pabrik-Gula-Ancam-Swasembada-Gula

Penggabungan pabrik gula PTPN XI sebatas kajian

Rabu, 03/11/2010 21:55:50 WIB
Oleh: Bambang Sutejo

MALANG: Rencana penggabungan (amalgamasi) sejumlah pabrik gula dibawah kelolaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI di Jawa Timur baru sebatas kajian.

Adig Suwandi, Sekretaris Perusahaan PTPN XI, mengatakan munculnya polemik dan kontroversi tentang rencana amalgamasi sejumlah pabrik gula (PG) di Jatim yang memancing reaksi Pemprov Jatim dan petani tebu tersebut belum merupakan keputusan manajemen PTPN XI.

"Manajemen baru sampai tahap melakukan kajian. Dari kajian tersebut akan diketahui berapa kebutuhan tebu ideal untuk memenuhi kapasitas giling bagi PG bersangkutan agar dapat menghasilkan gula bermutu tinggi dan harga pokok (unit cost) bersaing," kata Adig Suwandi dalam siaran pers yang diterima Bisnis, hari ini.

Kebutuhan tebu, tuturnya, diproyeksikan ke dalam luas areal lahan dan tingkat produktivitas dicapai agar sistem dan manajemen produksi yang berkelanjutan dapat dilaksanakan.

Menurut dia, tidak mudah melakukan amalgamasi PG. Selain pertimbangan ekonomis dan finansial, perusahaan pasti mempertimbangkan pula dampak sosial yang ditimbulkan, termasuk bagaimana penyaluran tenaga kerja yang selama ini menggantungkan hidupnya dari PG.

Komunitas lokal yang selama ini mendapatkan multiplier effects PG juga menjadi pertimbangan. Karena itu, lanjutnya, PTPN XI berharap ada dukungan lahan dari pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat sekitar kalau memang PG tetap ingin dipertahankan keberadaan dan keberlanjutan operasinya.

"Apalagi pada era liberalisasi perdagangan sekarang, PG tidak hanya bersaing dengan sesama produsen di dalam negeri, namun juga yang ada di luar negeri."

Momentum naiknya harga gula dunia yang sekarang mencapai kisaran US$700-US$745 per ton FOB (harga di negara asal, belum termasuk biaya pengapalan dan premium) menyusul perubahan iklim yang berdampak terhadap menurunnya stok global, hendaknya mendapat perhatian serius untuk mengawali kebangkitan dan kejayaan kembali industri gula nasional.

Sebagai tanaman yang relatif tahan terhadap berbagai gejolak iklim, tebu dapat menjadi opsi bagi petani. "Tugas PG adalah membina petani agar dapat menyelenggarakan praktik budidaya terbaik (best practices) dan mengolahnya menjadi gula kristal."

Pihaknya menyebutkan dalam pertemuan koordinasi yang dihadiri Gubernur Soekarwo, Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, serta jajaran manajemen PTPN X dan XI, telah ditegaskan segera dibentuknya tim teknis yang antara lain bertugas menyusun grand strategy revitalisasi PG di Jatim.

Setelah rampung, konsepnya akan dibahas bersama para Bupati/Walikota yang di daerahnya terdapat PG khususnya dalam penyediaan lahan yang memungkinkan tidak adanya lagi idle capacity.

PTPN XI berharap, nantinya semua tebu untuk sebuah PG berasal dari sekitarnya, bukan dari tempat yang jauh dengan konsekuensi ongkos transportasi mahal.

Sebagai contoh dari kebutuhan ideal untuk 3 PG di Kabupaten Probolinggo (Wonolangan, Gending dan Padjarakan) yang secara keseluruhan berkapasitas 3.700 ton tebu per hari (tth), potensi lokal 140.000 ton dari 555.000 ton kebutuhan. Kekurangan tebu terpaksa diambilkan dari Lumajang yang mengalami surplus.

Itu pun masih dengan asumsi lama giling minimal yakni 150 hari. Secara finansial, bagi PTPN XI sebenanarnya masih lebih menguntungkan memanfaatkan semua tebu Lumajang dengan meningkatkan kapasitas PG Djatiroto dari 5.500 menjadi 10.000 atau bahkan 12.000 tth.

Namun, dalam upaya menjaga keseimbangan tebu antarwilayah agar PG-PG Probolinggo tetap beroperasi, manajemen memutuskan peningkatan kapasitas PG Djatiroto baru ke arah 7.500 tth.

Demikian pula 3 PG di Kabupaten Situbondo di luar Assembagoes (Wringinanom, Olean, dan Pandjie) dengan kapasitas total 4.500 tth, kebutuhan ideal tebu 675.000 ton, kemampuan lokalnya hanya 110.000 ton sehingga sisanya harus didatangkan dari tempat lain.

5 PG lingkup PTPN XI di kawasan Madiun dan sekitarnya juga mengalami nasib serupa. Dukungan pemerintah kabupaten/kota akan lahan budidaya tebu tampaknya menjadi faktor penting.(yn)

Sumber: http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id218437.html