Rabu, 27 Oktober 2010

Murahnya Briket Serbuk Kayu

Rabu, 27 Oktober 2010 | 11:21 WIB

PROBOLINGGO - Meski konversi minyak tanah (mitan) ke elpiji telah digelindingkan tidak menutup kemungkinan warga menggunakan bahan bakar alternatif. Salah satu bahan bakar yang murah dan aman untuk memasak adalah serbuk kayu dan serbuk arang kayu.

“Serbuk kayu harganya murah bahkan sering dibuang dan dibakar. Padahal bisa disulap menjadi briket untuk memasak,” ujar Fitriawati SSos MM, kepala UPT Informasi dan Pendidikan Lingkungan Hidup (IPLH) pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Probolinggo.

Ditemui di sela-sela pelatihan kepada 100 pedagang makanan-minuman dan kader lingkungan di Taman Wisata dan Studi Lingkungan (TWSL), Selasa (26/10), Fitri menunjukkan cara membuat briket. Bahannya sangat murah, serbuk kayu, lem kanji (dari tapioka), cetakan dari pipa PVC ukuran 1 dim (inchi) sepanjang 10 Cm.

Serbuk kayu yang dicampur dengan lem kemudian dicetak, mirip orang membuat kue puthu. “Setelah itu, briket berbentuk silinder itu dijemur di terik matahari, sudah bisa digunakan memasak,” ujar Fitri.

Diakui kompor yang digunakan untuk memasak memang berbeda dengan kompor minyak tanah. Cara kerja kompor briket serbuk kayu itu mirip anglo. “Agar mudah menyalakan, briket direndam dalam minyak tanah atau spiritus,” ujar Puguh Priyosudibyo, narasumber pelatihan.

Selain dari serbuk kayu, briket bisa dibuat dari serbuk arang kayu. “Arang serbuk kayu dibuat dengan pembakaran tidak sempurna terhadap serbuk kayu,” ujar Puguh.

Puguh menunjukkan alat sederhana untuk membakar arang yang terbuat dari blek (kaleng) bekas biskuit. Serbuk kayu dimasukkan dalam blek yang dindingnya dilubangi dengan paku.

Saat serbuk kayu mulai terbakar, lubang-lubang pada dinding blek ditutup rapat. Maka jadilah arang serbuk kayu yang siap diolah menjadi briket serbuk arang. “Panas yang dihasilkan briket biorang lebih tinggi dibandingkan kayu bakar biasa dan nilai kalornya mencapai 5.000,” ujar Puguh.

Sebagai perbandingan, kayu kering menghasilkan panas 4.491,2 kalor/gram dan batubara muda (lignit) 1.887,3. Sementara batubara 6.999,5, minyak bumi (mentah) 10.081,2, bahan bakar minyak 1.0224,6, dan gas alam 9.722.9.

Dibandingkan minyak tanah non-subsudi yang harganya Rp 7.500-8.000 per liter, briket serbuk kayu jauh lebih murah. “Soalnya serbuk kayu dapat diperoleh secara gratis, kalau harus beli, satu sak hanya Rp 7.000,” ujar Puguh.

Satu sak serbuk kayu bisa menjadi ratusan potong briket. “Sebanyak 8-10 potong briket bisa digunakan untuk memasak hingga 4 jam, irit kan,” ujarnya. Puguh mengakui, briket serbuk kayu masih menimbulkan asap. “Kalau ingin asapnya sedikit, ya gunakan briket serbuk arang,” ujarnya.

Sejumlah peserta pelatihan mengaku bakal menggunakan briket serbuk kayu untuk memasak. “Briket serbuk kayu murah untuk menghangatkan bakso yang saya jual,” ujar seorang pedagang bakso keliling. isa

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=cdfe15852928efe3af0421fd3921b42c&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

Suami Riska Tewas, Bayinya yang Mirip Almarhum Jadi Pelipur Lara

Rabu, 27 Oktober 2010 | 10:36 WIB

Oleh Iksan Mahmudi

Banjir bandang di Wasior, Papua Barat, 4-6 Oktober lalu juga menghancurkan impian Abdullah dan keponakannya, Riska Yuni Rahmawati (25). Masa depan yang mereka bangun berantakan.

MERANTAU di Wasior sejak Oktober 2009, Abdullah sebenarnya sudah punya tabungan Rp 18,7 juta. Namun tabungan hasil ngojek yang dia kumpulkan berbulan-bulan itu ditelah air bah. ’’Motor saya ada dua, satu selamat, satu lagi hanyut,” ujarnya.

Abdullah bersama eks perantau Probolinggo yang kembali dari Wasior, Senin (25/1), berkumpul di rumah Agus Sudarsono (51), warga RT 05/RW 02, Dusun Triwung, Desa Warujinggo, Kec Leces. Agus adalah orang yang dituakan dalam kelompok perantau itu karena dialah yang mengajak mereka ke Wasior.

Termasuk yang ikut kumpul-kumpul adalah Riska Yuni Rahmawati, keponakan Agus. Dia mengaku tidak bisa melupakan banjir Wasior. Suaminya, Karel Paulus, seorang polisi, menjadi korban banjir dan meninggal dalam perawatan di rumah sakit.

Anak semata wayangnya, Kevin Karel Rumadas (8 bulan) menjadi satu-satunya penghibur. “Anak saya fisiknya persis ayahnya yang memang asli Papua,” ujar Riska sambil menggendong bayinya.

Sementara itu kedua orangtua Riski, Rahmad dan Elly, keponakan Riska, hingga kini tetap bertahan di Wasior. “Mas Rahmad, kakak kandung saya, sengaja tidak pulang ke Probolinggo karena menunggu harta benda yang tersisa,” ujar Lilik.

Selama bekerja di Wasior, para pekerja ini tinggal di rumah kontrakan. “Di sana biaya hidup mahal, rumah petak kontrakan Rp 400 ribu per bulan,” ujar Rudi Sudarsono, mantan perantau di Wasior lainnya.

Sepengetahuan Rudi, ada 12 pekerja asal Probolinggo yang bekerja di Wasior. Pasca banjir bandang, sebanyak 7 orang memilih pulang kampung. “Alhamdulillah semuanya selamat dari banjir bandang,” ujar Agus.

Murahman, eks perantau lainnya, belum bisa melupakan air bercampur lumpur dan gelondongan kayu seperti ditumpahkan dari langit. “Bunyi batu beradu dengan kayu-kayu gelondongan benar-benar mengerikan. Saat banjir surut, timbunan lumpur di Pasar Baru, Wasior hingga ketinggian 2-3 meter,” ujarnya.

Agus, eks perantau lainnya, menceritakan, dirinya diikuti sejumlah warga lain sempat melarikan diri dengan ngebut naik motor ke arah atas (gunung). “Tidak tahunya air dari gunung, kami pun terbirit-birit kembali ke bawah, menyelamatkan diri,” ujarnya.

Data Posko Darurat Bencana Banjir Bandang Kab Telukwandana, Papua Barat diketahui ada 20 pekerja asal Jatim, termasuk 7 pekerja asal Probolinggo, pulang. Mereka tidak tahan hidup di tenda daurat di lapangan tembak Makodim Manukwari, 6-20 Oktober. “Kami tidak kerasan tinggal di tenda-tenda yang dihuni sekitar 4.700 pengungsi,” ujar Murahman, eks perantau lainnya.

Akhirnya, bersama 20 pengungsi asal Jatim, ke-7 perantau asal Probolinggo itu bertolak ke Tanjung Perak, Surabaya, Rabu (20/10). “Kami naik KM Labobar, tiba di Surabaya, Kamis (21/10),” ujar Rudi Wahyudi. Sebelumnya dalam perjalanan laut Wasior-Manukwari, Rudi sempat menumpang kapal patroli. “Saya berbaur dengan belasan jenazah korban banjir yang akan dikirim ke Manokwari,” ujarnya.

Disinggung apakah mereka bakal kembali ke Wasior, Agus dan sejumlah pekerja asal Probolinggo mengaku masih pikir-pikir. “Kalau saya sudah bertekad ingin kembali ke Papua. Kalau ada yang meminjami uang Rp 1 juta, saya bukan meminta bantuan lho, saya berangkat kembali ke sana,” ujar Murahman. *

Suimber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=946a74e58ff86d50c79ba0c5b146169b&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

Tokek, Tokek…Eh, Bisa Jadi Milyarder

Rabu, 27 Oktober 2010 | 10:33 WIB

Tampang tokek memang terkesan seram, namun di balik tampang seramnya itu tersimpan potensi untuk mendulang rupiah. Sejumlah orang yang beruntung dan bertangan dingin, beberapa tahun belakangan menjadi milyarder setelah menyulap tokek jadi komoditas ekspor.

Sebuah iklan penawaran beli di salah satu situs web menyatakan, akan membeli tokek warna bintik-bintik merah asal Indonesia, secara paket. Harga beli yang ditawarkan cukup fantastis, mulai dari Rp 7,5 juta per ekor sampai Rp 50 miliar per ekor tergantung klasifikasi paketnya.

Mungkin kedengarannya sangat tidak masuk akal, seekor tokek dihargai sampai miliaran rupiah bahkan puluhan miliar rupiah per ekor. Padahal biasanya, binata melata yang sejenis cicak itu berkeliaran di rumah-rumah kosong atau rumah-rumah berbangunan besar, seakan tak ada harganya. Malah, kerapkali suaranya yang seram itu dijadikan guyonan untuk mengundi nasib.

Namun, harga tokek yang mencapai miliaran rupiah itu diakui kebenarannya oleh David Hendra, warga Jl Puspowarno Tengah, Semarang Barat. Laki-laki kelahiran Probolinggo, 24 November 1957 itu mengaku, baru setahun berbisnis jual beli tokek tapi sudah mampu beromzet miliaran rupiah.

Hendra menjelaskan, tokek yang bernilai jual tinggi itu memang bukan sembarang tokek. Beratnya per ekor harus lebih dari 3,5 ons dan harus dalam keadaan hidup. 'Umumnya berat tokek di bawah 2 ons. Itu tak laku dijual. Kalaupun dijual, paling hanya laku Rp 2 ribu-Rp 3 ribu per ekor buat obat,' jelasnya.

Dia menambahkan, tokek dibagi tiga jenis: tokek hutan, tokek batu, dan tokek rumah. Masing-masing memiliki ciri khas yang membedakan. Namun, di antara tiga jenis tokek itu, tokek rumah paling mahal.

Untuk tokek rumah seberat 5 ons-5,9 ons, harganya bisa mencapai Rp 250 juta per ons, sehingga per ekor bisa laku sampai Rp 1 miliar. 'Bahkan, tokek dengan berat lebih dari 5,9 ons dihargai Rp 500 juta per ons,' tuturnya.

Hendra yang baru setahun menekuni bisnis tokek itu menyatakan pernah melakukan transaksi tokek rumah seberat 7 ons, sekitar setahun lalu. Untuk transaksi itu, si mediator (penghubung, Red) minta bayaran Rp 500 juta. 'Anda percaya atau tidak? Tapi, ini benar-benar terjadi,' tegasnya meyakinkan.

Untuk jenis tokek lain, lanjut dia, harganya memang tak setinggi tokek rumah. Tokek batu misalnya, harganya hanya Rp 5 juta per kg dan harga tokek campuran cuma seperempat harga tokek rumah. 'Tokek batu itu besar-besar. Seekor bisa lebih dari 1 kg,' ujarnya.

Tokek-tokek berukuran jumbo itu, lanjut Hendra, mayoritas dijual ke luar negeri. Namun, dengan alasan bisnis, dia enggan menyebutkan negara-negara pengimpor tokek asal Indonesia itu. 'Ya pokoknya dibeli orang luar negeri sana, ' tegas bapak empat anak itu.

Menurut Hendra, di luar negeri, tokek yang beratnya lebih dari 3,5 ons digunakan untuk bahan penelitian. Termasuk untuk menciptakan obat-obatan, pembuatan senjata biologi, serta kepentingan teknologi biologis lainnya. 'Tokek untuk pengembangan teknologi ke depan tidak akan surut. Justru permintaan akan semakin tinggi,' ujarnya optimistis.

Hendra memulai bisnis jual beli tokek itu baru sekitar tahun 2008, namun usahanya maju pesat. Selain di Semarang, kini Hendra telah mampu membuka lima kantor cabang pemasaran. Yakni, di Bekasi, Bandung, Surabaya, Denpasar, dan Jakarta. Kantor cabang tersebut, selain untuk bisnis tokek, juga dimanfaatkan Hendra untuk bisnis lain yang ditekuni lebih dulu. Yaitu, membuka kursus bahasa, pembuatan website, serta bisnis handphone dan computer.

Tak hanya itu, Hendra juga telah menjadi salah seorang pakar budidaya tokek di Indonesia. Dia kini mengasuh situsweb tentang tokek, yang dibuatnya sendiri yakni, pasartokek.com. Melalui situswebnya itu, Hendra berbagi ilmu dan pengalaman dalam berbisnis jual beli tokek, serta menyebarkan informasi tentang pasar tokek.

Selain itu, Hendra juga menggelar pelatihan budidaya tokek diberbagai daerah. Tentu saja tidak gratisan. Kemudian, para alumnus lembaga pelatihan tersebut, ada pula yang dia rekrut masuk ke dalam jaringan bisnis tokeknya.

Waspadai Penipuan

Di bagian lain Hendra mengingatkan, karena harganya yang sangat menggiurkan, wajar saja bila bisnis tersebut sekarang menjadi santapan empuk para tukang tipu. Modus penipuannya bisa dilakukan dengan pemberian obat, makanan, atau alat pemberat lain yang mampu meningkatkan berat badan tokek. 'Pernah ada yang memasukkan gotri (pelor) di tubuh tokek biar beratnya tambah,' ceritanya.

Namun, pengusaha multitalenta tersebut memiliki cara sendiri untuk mengantisipasi penipuan dalam bisnisnya itu. Suami Tabita Sriwatiningsih tersebut menyatakan telah memiliki jaringan perdagangan tokek yang kuat. Mayoritas pembeli yang dilayani adalah konsumen di luar negeri.

Untuk jaringan ke bawah, mulai para penjual dan pengumpul, Hendra menggunakan cara tersendiri guna mencegah penipuan. Yakni, penjualan melalui foto serta pembayaran melalui beberapa tahap. 'Usaha dengan omzet miliaran seperti ini rawan penipuan. Kalau tidak cermat, akan mudah ditipu makelar. Karena itu, saya punya cara sendiri untuk mengatasi penipuan,' ujarnya.

Dia menjelaskan, sistem penjualan tokek dipasarkan melalui foto tertutup. Tokek tidak diperlihatkan secara utuh. Namun, tokek difoto di atas timbangan digital yang di sampingnya diletakkan koran untuk mengetahui tanggal berapa tokek tersebut difoto.

Foto tersebut kemudian dipasarkan melalui internet atau dikirim dalam bentuk print out. Orang yang hendak membeli tokek harus lebih dulu menyatakan sanggup bertransaksi dengan mentransfer sejumlah uang. 'Selanjutnya, saat terjadi transaksi langsung, barulah dibayar lunas,' jelasnya.

Untuk pembelian dari pengumpul atau pemilik, Hendra menggunakan tiga tahap pembayaran untuk menghindarkan penipuan. Pertama, pernyataan kesanggupan dengan membayar sejumlah tertentu. Lalu, selama beberapa hari, dia mengamati kondisi kesehatan tokek. Jika tokek tetap sehat, dirinya baru membayar uang muka. Baru setelah beberapa minggu dipastikan tokek dalam keadaan aman dan sehat, dia membayar lunas harga yang disepakati. 'Tentunya, kita harus lebih cerdas dari para penipu. Saya sudah punya pengalaman ditipu orang. Itu menjadi pengalaman paling berharga,' ujarnya.

Obat HIV/AIDS

Selain untuk bahan penelitian, tokek juga diyakini berkhasiat sebagai obat. Menurut pengobatan tradisional China, tokek dapat dijadikan bahan dasar untuk mengobati penyakit tumor dan gatal-gatal pada kulit. Daging, darah, dan empedu tokek juga dapat mengobati beberapa penyakit. Bahkan, lidahnya, dapat dijadikan sebagai obat HIV/AIDS.

Apa benar tokek bisa menyembuhkan penyakit HIV/AIDS? Menurut penuturan salah seorang agen tokek di Pekanbaru (Maret 2009) yang bernama Yon Candra (32), lidah tokek bisa mengobati atau mematikan virus HIV/AIDS. Rumor itulah yang membuat warga Pekanbaru, Riau, “ramai-ramai” melakukan perburuan tokek.

Tapi, Yon ogah mengungkapkan ramuan obat HIV/AIDS yang berbahan dasar lidah tokek tersebut. “Itu rahasia perusahaan,” tandasnya. Meski demikian Yon mengatakan, dia mengekspor tokek ke Thailand dan China. Di kedua negara itu ada orang yang dapat membuat obat HIV/AIDS dari tokek.

Sementara itu salah seorang dokter di Pekanbaru yang sering menangani kasus virus HIV/AIDS, Burhanudin Agung mengatakan, sejauh ini dari beberapa riset dan percobaan belum ada satupun obat yang mampu menyembuhkan virus AIDS.

Kata dokter Agung, yang namanya virus itu tidak bisa disembuhkan. “Tapi, kalau untuk mempertahankan daya tubuh pasien, jika sudah terjangkit HIV/AIDS, itu baru ada, yakni Anti Retroviral (ARV) yang harganya cukup mahal.”

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang belum pernah membenarkan bahwa tokek dapat dijadikan obat sejumlah penyakit. Demikian pula Departemen Kesehatan RI, belum pernah memberi rekomendasi tentang khasiat “cicak jumbo” ini. Namun para ahli pengobatan China mengembangkan obat tumor dari organ tubuh tokek. Alasannya? Karena di dalam organ tokek ada zat yang mampu menekan pertumbuhan sel-sel tumor.

Tim yang diketuai Prof. Wang dari Universitas Henan, China, menunjukkan bahwa zat aktif tokek tidak hanya meningkatkan respons sistem kekebalan tubuh dari suatu organisme, tetapi juga menginduksi sel-sel tumor apoptosis (yang membunuh dirinya sendiri) serta menekan ekspresi protein VEGF dan bFGF, faktor pendukung berkembangnya kanker. Tokek efektif dimanfaatkan untuk menghilangkan tumor ganas, terutama tumor di bagian sistem pencernaan yang dijadikan sebagai alternatif pengobatan, yaitu operasi, radioterapi, dan kemoterapi.

Sementara itu sebagian masyarakat di Indonesia menyatakan, manfaat tokek paling jos untuk mengobati penyakit asma. Tetapi daging tokek harus dijadikan tepung terlebih dulu. Konon tepung tokek dapat menyembuhkan penyakit asma secara efektif. Selain asma, tokek diyakini dapat mengobati impotensi, meningkatkan fungsi seksual pria, serta meningkatkan stamina.

Tak hanya itu, tepung tokek terkadang dicampur dengan obat-obatan lain untuk menyembuhkan batuk dan flu. Dosis yang direkomendasikan adalah tiga sampai sembilan gram per hari, biasanya dikonsumsi dalam bentuk bubuk atau pil, bisa juga direbus dulu. ins

Tabel harga Tokek

A. Standar Harga Pada Umumnya

Tabel Standar Berat, Panjang, Besar Kepala Dan Harga Tokek

Berat Panjang Besar Harga Ket

(gram) (cm) (jari) (Rp)

420 42 3 2 miliar

390 40 3 500 juta

360 38 3 250 juta

330 36 2,5 50 juta

300 33 2,5 30 juta

250 30 2,5 10 juta

B. Harga Buyer

Ada 2 macam sistem dari pembeli untuk membeli tokek dengan harga mahal dan tidak ada potongan apapun artinya harga murni. Untuk itu harus dipahami kemauan pembeli atau buyer. Minimal ada 2 sistem dari buyer, yang pertama buyer menghendaki adanya tokek master yaitu tokek yang memiliki berat cukup fantastis yaitu (minimal 4,2 ons). Sistem kedua adalah sistem paket, pembeli mau membeli tokek tanpa adanya master atau maskot asal dengan jumlah minimal tertentu, misal berat 3,6 harus minimal 8 ekor. Berikut contoh tabel sistem buyer :

Sistem Master atau Maskot

Master Berat yg Dibeli Jumlah yg Dibeli Harga Ket

(gr) (gr) (ekor) (Rp)

420 420 1 2 miliar

390 1 500 juta

360 1 250 juta

330 1 50 juta

300 1 30 juta

250 1 10 juta

b. Sistem Paket

Yang dimaksud sistem paket adalah, tokek yang dibeli hanya dengan berat tertentu dan juga minimal jumlah tertentu, misal Tokek dibeli hanya berat 3,3 ons, 3,6 ons dan 3,9 ons dan ini pun harus dengan minimal jumlah tertentu misal 3,3 harus minimal 8 ekor dan 3,6 harus minimal 5 ekor kecuali 3,9 boleh hanya 1 ekor. Berikut tabel tersebut.

Paket Berat yg Dibeli Jumlah yg Dibeli Harga Ket

(gr) (ekor) (Rp)

A 390 1 2 miliar

360 5 500 juta

330 8 250 juta

B campuran minimal 5 sesuai berat

C. Tabel Harga Mediator

Sudah pasti harga yang diberikan oleh mediator lebih rendah daripada harga buyer karena Mediator tentu ingin mendapat keuntungan. Ada yang terang-terangan memakai sistem SS atau dalam bahasa jawa disebut, sigar semongko (belah semangka) yang berarti berarti dibagi dua. Harga jual yang didapat nantinya dibagi dua yaitu separuh untuk pemilik dan separuh untuk mediator.

Sistem Berat yg Dibeli Jumlah yg Dibeli Harga Ket

(gr) (ekor) (Rp)

SS 420 1 2 miliar

390 1 500 juta

360 1 250 juta

330 1 50 juta

300 1 30 juta

250 1 10 juta

Sesuai idem idem sesuai perjanjian kesepakatan

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=337e54f8a37228d67f9d2af8d8d8a2b0&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5