Rabu, 29 September 2010

Melihat Pelatihan National Brain Activation (NBA) di Kraksaan

[ Rabu, 29 September 2010 ]
Bisa Bedakan Warna walau Mata Tertutup

Metode pendidikan National Brain Activation (NBA) kini juga menjalar sampai ke Probolinggo. Metode ini (salah satunya) membuat seorang anak mampu membaca, bahkan melakukan berbagai aktivitas lainnya dalam keadaan mata tertutup.

ABDUR ROHIM MAWARDI, Probolinggo

Minggu (26/9) itu ada suasana berbeda di lantai dasar gedung Islamic Center Kraksaan Kabupaten Probolinggo. Sejumlah orang sibuk hilir mudik di sekitar studio radio Bromo FM. Sedangkan di ruang pertemuan di sebelah studio itu sayup-sayup terdengar suara anak-anak bermain.

Tapi, dari luar ruangan tak terlihat aktivitas di dalamnya. Kaca-kaca ruangan tersebut sengaja ditempeli koran seluruhnya. Hari itu di ruangan tersebut sedang berlangsung pelatihan metode NBA.

"Orang di luar ruang tidak boleh melihat pelatihan itu. Termasuk juga orang tuanya," ujar Agus Salehuddin, salah seorang dari tim manajemen NBA Jawa Timur.

Menurut Agus, pelatihan itu digelar sejak pukul 09.00. Begitu dimulai, ruangan sudah harus steril. Sebab pemberian materi itu hanya bisa diikuti oleh anak yang sudah didaftarkan. "Jumlahnya hanya 24 peserta," tambah Hadi Santoso, rekan manajemen Agus.

Menurut Hadi, jumlah peserta memang dibatasi. Pelatihan itu pun hanya untuk anak-anak. Peserta saat itu tidak hanya dari Probolinggo. Juga ada dua peserta dari luar kota. Yakni dari Lamongan dan Sumenep Madura. "Kalau banyak, instruktur bisa kewalahan. Malah tidak efektif," kata Hadi.

Dijelaskan, untuk menjadi peserta, harus membayar biaya administrasi sebesar Rp 1,5 juta. Biaya itu untuk menutupi kebutuhan operasional saja. Di kota lain, kata hadi, biaya pelatihan NBA berkisar Rp 2,5 sampai Rp 3 juta. "Orientasi kami bukan mutlak bisnis," ujar Hadi.

Instruktur yang hadir adalah penemu metode tersebut. Yakni John L. Pratama, SE., S.Kom, Occ, CHt, CI. Dia adalah chairman The House Of Mind Power (THOMP). "Asalnya Jogjakarta," tutur Khoirul Roziqin, juga dari tim NBA.

Menurut Roziqin, dengan pelatihan dimulai pukul 09.00, selanjutnya ruangan baru bisa dibuka untuk umum pada pukul 14.30. Sebab para peserta akan diuji. Untuk proses pengujian itu bisa disaksikan siapapun. "Untuk membuktikan bahwa metode itu memang efektif," kata Roziqin.

Sesuai batas waktu yang ditetapkan untuk ujian, Radar Bromo disilahkan memasuki ruangan. Para orang tua juga diperkenankan masuk. Sementara itu, peserta sudah mulai unjuk kebolehan. "Ini hasil dari pelatihan kami," ujar John L. Pratama.

Saat itu sebanyak 22 peserta dipanggil satu persatu. Tapi, ada dua peserta yang belum tampak. Di mana dua peserta itu? Ternyata dua bocah itu tampak bermain di luar kelompok mereka yang lain.

"Alan nggak mau nggambar. Alan kalau menggambar jelek," ujar bocah bernama Alan itu disusul tawa sambil menunjukkan giginya.

Dalam proses pengujian itu, mata setiap peserta lebih dulu ditutup dengan sebuah kain hitam. Tujuannya agar peserta bisa melakukan aksinya tanpa bantuan penglihatan. Tugasnya, mewarnai lukisan yang lebih dulu dibuatkan garis. Bentuk lukisannya beraneka ragam. "Ada gambar pisang, mobil, landak, dan lain-lain," ujar John.

Begitu semua peserta selesai, lukisan yang telah diwarnai itu dikumpulkan kepada John. John pun menunjukkan lukisan itu kepada Radar Bromo. Hasilnya? Luar biasa! Hampir semua peserta berhasil mewarnai lukisan itu dengan tepat. Baik sisi garis, maupun warna yang dibubuhkan. "Aplaus untuk anak-anak kita," ujar John.

Selanjutnya John menugaskan peserta memilih bola-bola plastik dengan tiga warna. Merah, kuning, dan biru. Tugasnya, setiap peserta harus memilih bola sesuai warna. Kemudian, bola itu dimasukkan ke dalam wadah plastik sesuai dengan kelompok warnanya.

Hasilnya pun menggembirakan. Bola yang dimasukkan, semuanya sesuai dengan wadah yang tersedia. Bola merah masuk ke wadah merah. Demikian pula dengan bola biru dan kuning. Seluruh yang hadir di ruangan tersebut pun kontan memberikan aplaus.

Kemudian John menanyakan perbedaan antar setiap bola kepada dua peserta; Vera dan Rafi. "Apa bedanya warna merah, biru, dan kuning?" tanya John.

"Kalau merah, rasanya berat. Biru paling ringan. Kalau kuning agak berat," sebut Rafi yang disambut aplaus hadirin.

Sedangkan jawaban Vera berbeda dengan Rafi. "Merah bau tanah, biru agak harum, kuning agak berat," terang Vera yang juga disambut aplaus.

"Jadi kedua anak ini membedakan warna dengan cara berbeda. Vera dengan cara mencium. Sedangkan Rafi dengan cara merasakan," sebut John.

Ada seorang hadirin merasa kurang yakin dengan yang terjadi. Dia pun meminta John sendiri memilih bola dengan mata tertutup. Sama seperti yang dilakukan peserta. Hasilnya lebih memuaskan. John berhasil memasukkan sebanyak masing-masing 10 bola merah, biru, dan kuning dalam waktu tak sampai 30 detik. Tak ayal, hadirin kembali memberikan aplaus.

Menurut John, metode yang dikembangkannya itu sebenarnya metode lama. Namun dikemas dengan konsep dan penyajian yang baru. Yakni dengan konsep NBA yang digagasnya pada awal 2009 lalu. "Bersamaan dengan ketika saya menentang konsep otak tengah. Dan ini bukan pelatihan untuk mengaktifkan otak tengah," ujar John.

Kepada Radar Bromo, John terang-terangan menentang konsep otak tengah. Sebab, kata John, secara teoritis, otak tengah itu tidak ada. "Bahkan konsep ini dibenarkan seorang profesor biologi. Nggak ada yang namanya otak tengah itu. Saya menentang teori itu," tegas pria yang dua kali studi di Amerika Serikat ini. Yakni pada 1999 selama 6 bulan, kemudian pada 2010 selama 2 bulan.

John mengatakan, pihaknya aktif melakukan pelatihan NBA di pulau Jawa. Namun masih belum meluas ke luar Jawa. "Masih sedang direncanakan," tutur pria kelahiran 14 Juni 1970 ini.

Kelebihan dari konsep ini kata John, juga bisa dikatakan sebagai indikator. Yakni seorang anak mampu menghitung cepat, membaca cepat, mengingat banyak kata dan angka, mengendarai sepeda, mewarnai dengan cepat. Selain itu, juga dengan mata tertutup, mampu menebak isi di dalam kotak.

John menolak anggapan metode yang dikembangkannya itu mendekati sulap. Sebab kata John, tujuan metode itu bukan untuk sulap. Melainkan untuk meningkatkan kecerdasan dan daya ingat peserta. "Selain itu juga untuk meningkatkan prestasi anak didik dan sekolahnya. Itu pasti," ujarnya. (yud)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=181922

Tidak ada komentar:

Posting Komentar