Selasa, 21 September 2010

Pemkab Diminta Bangun Pasar Agrobis di Bromo

Senin, 20 September 2010 | 10:47 WIB

PROBOLINGGO –Pemkab Probolinggo diminta membangun pasar agrobis di sekitar tempat wisata Gunung Bromo. Kawasan Tengger yang merupakan daerah dingin dikenal sebagai penghasil sayur. Pasar agrobis sangat potensial untuk memasarkan sayur sekaligus menambah daya tarik wisata Gunung Bromo.

’’Jadi wisatawan tidak sekadar menikmati panorama Gunung Bromo dan jalan-jalan, tetapi bisa berbelanja sayur mayur yang dihasilkan petani di kawasan Tengger. Sayur itu bisa jadi oleh-oleh,” ujar Drs Supoyo MM, kepala Desa Ngadisari, Kec. Sukapura, Senin (20/9) pagi tadi. Menurut Supoyo, pasar agrobis sejalan dengan pembangunan desanya.

Supoyo mengusulkan, pasar agrobis itu dibangun di Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, yang berdekatan dengan Laut Pasir Gunung Bromo. Sehingga begitu wisatawan hendak pulang mereka langsung disambut pasar yang menjual aneka sayur-mayur.

Selama ini sejumlah petani sayur membuka lapak sederhana di depan rumahnya dengan memajang sayur mayur. Hal itu bisa dilihat di sepanjang jalan dari Ngadisari-Sapikerep. Selain menjual sayur-masyur mereka juga menawarkan bunga edelwies, yang memang tumbuh subur di lereng Gunung Batok di Laut Pasir.

Sementara itu, harga sayur di kawasan Gunung Bromo usai Lebaran ini turun. Di antara sayur yang harganya anjlok adalah kubis dan tomat. Padahal menjelang Puasa, kedua komoditas itu naik. Harga kubis menjelang Lebaran lalu masih di kisaran Rp 1.000-1.500/kg. Kini, kubis di tingkat petani hanya dihargai Rp 400-500/kg. Demikian juga tomat yang kini sedang panen raya, harganya jatuh dari Rp 2.000-3.000 menjadi Rp 1.200-1.500/kg.

’’Yang stabil harga bawang prei Rp 4.000-5.000 per kilogram, demikian juga kentang Rp 4.500-5.000 per kilogram,” ujar Supoyo yang juga tokoh petani di kawasan Tengger.

Turunnya sejumlah komoditas sayur-mayur juga diakui Suparman, petani di Desa Ledokombo, Kec Sumber, Kab Probolinggo. ’’Banyak petani mengeluhkan anjloknya harga kubis, dari Rp 1.000 menjadi Rp 400 per kilogram. Sebagian petani membiarkan kubisnya tidak dipanen karena harganya terlalu murah,” ujarnya.

Keluhan serupa diungkapkan sejumlah petani tomat di lereng Gunung Bromo. “Waktu panen raya, tomat saya biarkan membusuk di kebun,” ujar petani di Ngadisari. Petani yang enggan disebutkan namanya itu juga menunjukkan tempat pembuangan sampah yang banyak diwarnai tomat membusuk. “Itu tomat-tomat yang telanjur dipanen tetapi tidak ada pedagang yang membeli, akhirnya busuk, ya dibuang,” ujarnya.

Masalah musim kemarau yang diselingi hujan juga menjadi kendala tersendiri bagi petani di lereng Gunung Bromo. “Tanaman muda yang baru ditanam jika kebanyakan air bisa busuk. Hujan juga memicu kubis dan tomat siap panen cepat membusuk,” ujar Kusnan, petani di Wonokerto, Kec Sukapura. isa

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=c2a44dbaa9791140fc6a52822fa09203&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar