Jumat, 28 Mei 2010

Empat Tahun Lumpur Lapindo - Dari Lumpur Kembali ke Laut

Kamis, 27 Mei 2010 | 18:12 WIB

Oleh Oki Lukito

Kontroversi Jalan Raya Porong akibat luapan lumpur Lapindo terus berlanjut. Pemprov Jawa Timur bersikukuh belum akan menutup Jalan Raya Porong, kendati banyak desakan dari berbagai pihak agar jalur perekonomian utama itu ditutup demi keselamatan pengguna jalan. Sejumlah alternatif telah disiapkan untuk mengantisipasi jika poros wilayah timur pantura itu tidak dapat dilewati.

Sayang dari semua alternatif itu masih saja land base oriented, tidak mempunyai kesungguhan memanfaatkan moda transportasi laut. Jika dicermati selama ini sistem transportasi di ranah bahari ini pincang, hanya mengandalkan single moda, yaitu transportasi darat. Akibatnya beban jalan semakin berat, jumlah angka kecelakaan lalu lintas di jalur pantura meningkat dan biaya perawatan jalan semakin mahal.

Padahal Jawa Timur mempunyai keunggulan geografis dengan garis panjang pantai 1.900 kilometer. Wilayahnya yang sebagian besar laut seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana transportasi angkutan barang. Sementara jalan raya antardaerah maupun antarprovinsi seyogianya digunakan passengers only.

Menurut catatan, setiap hari Jalan Raya Porong dilewati sedikitnya 167.000 kendaraan besar dan kecil, sedangkan jalur alternatif Mojosari-Krian hanya mampu menampung 60.000 hingga 70.000 kendaraan per hari. Kerugian eksportir yang melewati Jalan Raya Porong dan terjebak kemacetan serta mengambil jalan alternatif Mojosari, Kabupaten Mojokerto, dengan jarak tempuh lebih jauh cukup besar.

Sebagai ilustrasi, kontainer ukuran 20 feet harus mengeluarkan biaya tambahan Rp 150.000, sedangkan kontainer 40 feet Rp 250.000 sekali lewat. Jika melalui jalur alternatif, kontainer 20 feet mengeluarkan biaya lebih mahal, yaitu Rp 250.000, sedangkan kontainer 40 feet Rp 350.000. Biaya itu belum termasuk biaya tambahan di gudang eksportir dan pelabuhan serta pengiriman barang yang harus dipercepat sehari dari jadwal.

Di Kota Probolinggo terdapat dua pelabuhan cukup besar, Tanjung Tembaga lama dikelola Pelindo III dan pelabuhan baru dengan kedalaman 10 meter yang dikelola Kantor Pelabuhan (Kapel) Probolinggo. Untuk sementara Pelabuhan Kapel Tanjung Tembaga dapat melayani kapal berbobot 2.500 DWT hingga di atas 5.000 DWT jika pembangunan tahap II selesai dikerjakan pada tahun 2012.

Dengan selesainya Tanjung Tembaga, Jawa Timur mempunyai tiga pintu gerbang laut setelah Tanjung Perak dan Tanjung Wangi, Banyuwangi. Angkutan barang dari Surabaya tujuan Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso, Lumajang, Jember, dan Malang maupun sebaliknya dapat dialihkan lewat laut dengan memanfaatkan Tanjung Tembaga. Kota-kota tersebut selama ini memberikan kontribusi ekonomi cukup besar bagi Jawa Timur.

Demikian pula di Banyuwangi terdapat pelabuhan shipping ocean going yang dapat disandari kapal dengan bobot di atas 10.000 DWT. Bahkan Pelabuhan Tanjung Wangi dilengkapi fasilitas terminal peti kemas, gudang, dan Depo BBM. Sayang, sejak selesai dikerjakan lima tahun lalu, pelabuhan itu 90 persen idle capacity.

Mendongkrak produktivitas

Untuk menekan biaya tinggi yang selama ini menjadi momok pengguna jasa pelabuhan, dapat dilakukan dengan cara mendongkrak produktivitas, pengembangan fasilitas serta peningkatan layanan dengan standar internasional. Pemerintah Jawa Timur harus berani pasang badan menekan biaya tinggi di pelabuhan agar pengguna jasa efisien dan efektif serta merasa nyaman.

Kapal yang dioperasikan juga tidak harus besar, untuk efisiensi cukup menggunakan landing container craft (LCC) dengan kapasitas angkut 15 kontainer ukuran 40 feet. Sementara kapal feri yang pernah digunakan transportasi Ujung-Kamal dapat difungsikan kembali dengan trayek Surabaya-Probolinggo-Banyuwangi PP untuk menekan kerugian akibat merosotnya jumlah penumpang setelah adanya Jembatan Suramadu.

Sudah saatnya Jawa Timur mengembangkan potensi dan kemauan politiknya di sektor agro-maritim. Selama ini kita belum mempunyai rencana strategis membangun potensi wilayah maritim kita, baik jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang sebagai landasan memanfaatkan keunggulan geografis yang kita miliki tersebut.

Perhatian kita terhadap jati diri sebagai bangsa bahari terabaikan, terbukti belum terkelolanya sistim transportasi laut secara memadai.

Oki Lukito Direktur Regional Economic Maritime Institute Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/27/18124669/.dari.lumpur.kembali.ke.laut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar