Kamis, 23 September 2010

Pestisida Organik Untuk Pertanian Masa Depan

Kamis, 23 September 2010 | 09:44 WIB

Tren di tengah masyarakat mengenai pentingnya mengkonsumsi makanan, sayuran dan buah-buahan yang bebas dari bahan-bahan kimia memicu pesatnya pertanian organik. Kebutuhan akan pestisida nonkimiawi alias organik alias nabati, menjadi peluang tersendiri.

Surabaya Post, Rabu (22/9) melansir berita tentang petani di Probolinggo yang kewalahan memenuhi permintaan beras semiorganik. Menurut Saiful Badri, ketua Kelompok Tani Harapan Jaya, Kelurahan Jrebeng Lor, Kec Kedopok, Kota Probolinggo, permintaan produk pertanian seperti beras organik dan semiorganik luar biasa besar.

Beberapa waktu lalu, Kelompok tani yang mempunyai 60 anggota dan lahan sekitar 50 hektare itu, mencoba menjual beras semiorganik 5 ton yang dikemas dalam plastik 5 kg melalui sebuah pameran. Ternyata laku keras. “Meski saya jual selisih Rp 1.000 lebih mahal dibandingkan beras nonorganik di pasar, 5 ton beras semi organik itu terjual dalam beberapa jam,” ujar Saiful.

Berikutnya, permintaan pun mengalir deras. Saiful juga mengaku kaget karena ada pengusaha dari Malang yang memesan beras semi organik 1,5 ton per minggu. “Terus terang kami kewalahan, dapat dari mana beras semiorganik sebanyak itu,” ujarnya. Sejumlah hypermarket di Surabaya juga menanyakan produk pertanian organik. Mulai beras, sayuran, hingga buah-buahan di Probolinggo.

Soal banyaknya permintaan produk organik itu juga diakui Kabid Teknik Produksi pada Dinas Pertanian Kab Probolinggo, Handaka Murwanto. Dicontohkan sejumlah petani di Kec Krejengan, Kab Probolinggo, misalnya, sejak sekitar 10 tahun silam sudah menanam padi semiorganik. Mereka juga kewalahan melayani permintaan beras semiorganik dari sejumlah pembeli dari Surabaya.

“Tapi, kalau murni organik belum ada di Probolinggo, yang ada baru produk semiorganik,” tutur Handaka. Meski demikian, yang jelas, dua produk pertanian hortikultura (sayur dan buah) di Kab. Probolinggo sudah mengantongi sertifikat Prima 3 dari Dinas Pertanian. Yakni, alpukat produksi Kelompok Tani “Joko Tarub”, Desa Ranugedang, Kec. Tiris dan mangga arumanis produksi Kelompok Tani Sumber Bumi, Alaskandang, Kec. Besuk.

“Sertifikat Prima 3 mengharuskan produksi pertanian bebas dari pestisida (kimia),” jelas Handaka. Dikatakan, masih ada sertifikat yang lebih tinggi tarafnya yakni, Prima 2 dan Prima 1, dengan syarat yang lebih ketat terhadap produksi pertanian.

Ya, pestisida memang salah satu kebutuhan utama yang tak dapat ditinggalkan dalam suatu aktivitas pertanian. Sebab salah satu masalah besar yang dihadapi para petani adalah serangan hama yang dapat menghancurkan tanaman. Dalam pertanian tradisional, masalah hama yang dihadapi petani tersebut tidaklah terlalu dipusingkan karena petani tidak merasa dirugikan.

Seiring dengan berjalannya waktu, lambat-laun masalah hama ini menjadi perhatian utama. Munculnya masalah ini diakibatkan oleh adanya intensifikasi pertanian yang memusatkan perhatian pada satu jenis tanaman di areal yang sangat luas. Sistem pertanian seperti ini ternyata menimbulkan keadaan eksplosif dengan bertambahnya populasi jenis serangga tertentu.

Pertanian dengan satu jenis tanaman sangat tidak menguntungkan ditinjau dari prinsip keseimbangan alami. Padahal, alam memperkenalkan banyak varietas dalam bentang tanah yang ditanami. Namun, manusia mengubah tatanan tersebut hanya untuk kemudahan dan keuntungan semata. Dengan adanya perubahan tatanan ini menyebabkan keseimbangan alam yang mengendalikan spesies-spesies di dalamnya menjadi rusak.

Serangga yang hidup dari padi, misalnya, dapat membangun populasinya di lahan khusus padi saja dibanding di lahan padi yang bercampur tanaman lain yang tidak cocok baginya. Populasi serangga yang semakin meningkat tersebut menyebabkan serangannya pada tanaman meningkat pula sehingga hal tersebut menjadi hama bagi padi.

Pestisida Kimia

Untuk menghadapi masalah tersebut petani mengembangkan suatu bahan untuk mengendalikannya, yaitu pestisida. Mula-mula pestisida yang digunakan petani berasal dari bahan alami, yaitu dari daun tembakau. Daun ini direndam dalam air dan kemudian disemprotkan ke tanaman yang terserang. Saat itu tampaknya pestisida tersebut cukup efektif.

Namun, akhirnya manusia tidak puas dengan pestisida sederhana tersebut. Mereka secara terus-menerus berusaha untuk menemukan pestisida yang lebih ampuh. Usaha mereka berhasil dengan ditemukannya, pertama kali, senyawa kimia Dichloro Diphenil Trichlorothane (DDT) pada tahun 1875 di Jerman.

Tak terhitung sudah jumlah pestisida yang sudah digunakan, dari berbagai jenis dan merek, dari mula ditemukan sampai saat ini, oleh petani untuk menanggulangi serangan hama tanaman yang menjadi musuhnya. Keberadaan pestisida kimia ini dianggapnya sebagai dewa penolong disaat petani kewalahan menghadapi serangga merugikan tersebut.

Sungguh di luar dugaan bahwa manusia sudah melakukan kecerobohan luar biasa berkenaan dengan penggunaan pestisida kimia ini. Usaha membasmi spesies serangga hama tanaman yang tidak dikehendaki, akhirnya justru mengakibatkan seluruh lingkungan tercemar sehingga membawa ancaman penyakit dan kematian bagi manusia itu sendiri.

Aktivitas berjenis-jenis makhluk hidup di dalam tanah, mulai dari jasad renik sampai cacing tanah, secara alami menjadikan tanah subur sebagai tempat tumbuhnya tanaman. Makhluk hidup tersebut berjasa menguraikan serasah dedaunan menjadi tanah yang kaya bahan organik dan membuat struktur tanah menjadi remah. Selain itu, mereka pun sangat berperan dalam proses nitrifikasi, yaitu membuat nitrogen di udara tersedia bagi tanaman.

Namun, setelah tanah tercemar pestisida kimia, aktivitas makhluk hidup di dalam tanah menjadi tergangu karena residu pestisida ini lama bertahan dalam tanah. Bukan hanya hitungan bulan, tetapi dalam hitungan tahun. Pestisida berbahan aktif Benzene Hexachloride (BHC), misalnya, terdeteksi selama 11 tahun menjadi penghuni tanah. Itulah yang memperparah kondisi tanah yang semula remah dan kaya unsur organik menjadi sangat keras dan miskin akan unsur hara.

Kembali ke Alam

Visi Go Organic 2010: “Indonesia negara produsen produk pertanian organik terkemuka pada tahun 2010” dicanangkan oleh Menteri Pertanian pada tahun 2001.

Dalam perjalanannya pengembangan pertanian organik di Indonesia seolah menghadapi banyak kendala sekalipun secara faktual lahan pertanian organik di Indonesia sesungguhnya sudah sangat luas.

Karena, sesungguhnya cara budidaya dengan sistem organik adalah budaya asli nenek moyang Bangsa Indonesia sebelum adanya gerakan Revolusi Hijau pada awal masa Orde baru. Dan, sistem pertanian organik sebagaimana yang dilakukan oleh nenek moyang kita itu pas sesuai dengan filosofi dan standar pertanian organik yang berlaku secara internasional.

Sejarah gerakan pertanian organik di dunia Internasional, mulanya dicetuskan oleh para pencinta lingkungan (environmentalis) dan pencinta kehidupan yang harmonis dengan alam untuk menjaga lingkungan hidup yang berkualitas secara lestari dan berlangsungnya kehidupan manusia yang harmonis dengan unsur lingkungan lainnya. Maka, prinsip utama pertanian organik ialah dengan meminimalkan pasokan faktor produksi dari luar ekosistem setempat dan menghindari penggunaan bahan-bahan kimia anorganik yang berbahaya dalam sistem pertanian.

Pupuk dan bahan-bahan penyubur tanah lainnya diupayakan diperoleh dengan melakukan pengelolaan terhadap berbagai sumber daya di lokasi setempat atau yang dikembangkan di lokasi setempat, demikian pula sistem pengendalian hama/penyakit dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem setempat dan hak hidup dari sumberdaya alam hayati dalam sistem lingkungan yang harmonis. Petani didorong untuk senantiasa akrab dengan lingkungan tetapi terus aktif berinovasi tanpa menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi lingkungan.

Warisan Nenek Moyang

Berkembangnya pertanian organik mendorong sejumlah industri pabrikan pestisida untuk memroduksi pestisida berbahan nonkimiawi atau nabati atau juga popular dengan istilah organik. Namun sejatinya, pembuatan pestisida bisa dilakukan sendiri dengan memanfaatkan ramuan warisan nenek moyang.

Saat ini, banyak pula lembaga baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang mengajarkan cara-cara membuat pestisida organik. Demikian pula situs-situs web tentang pertanian yang banyak betebaran di internet. Di antaranya adalah lestarimandiri.org dan isroi.wordpress.com. Pengelola situs-situs web tersebut sama-sama menampilkan bahan-bahan dan resep-resep pestisida organik.

Menurut isroi.wordpress.com, ada dua cara mudah untuk membuat pestisida nabati atau organik, yaitu:

* Perendaman untuk menghasilkan produk ekstrak

* Penumbukan, pembakaran, pengerusan, dan pengepresan untuk menghasilkan produk berupa pasta atau tepung

Bahan-bahan yang digunakan antara lain adalah mimba (untuk membasmi wereng batang coklat, penggerek batang, dan nematode), daun sirsak (wereng batang coklat), sirih dan tembakau (belalang dan ulat), kemudian lengkuas dan sereh (hama/penyakit secara umum). Juga gadung dan tembakau untuk membasmi wereng hijau, wereng batang coklat.

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=2134513f7c3c74cd7f5dcd05e9cf2260&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar