Jumat, 06 Agustus 2010

Cerita Dua Atlet Probolinggo yang Cedera di Ajang Popda Jatim VIII

[ Kamis, 05 Agustus 2010 ]
Tak Kapok walau Tulang Kering Kaki Kanan Patah

Arena Popda (pekan olahraga pelajar daerah) Jatim VIII di Nganjuk pada 26 Juli - 2 Agustus lalu menjadi momen nahas bagi dua atlet asal Kota Probolinggo. Yakni atlet silat Lailatul Mukaromah dan atlet senam Febrianti Mavitasari. Berikut kisahnya.

FAMY DECTA MAULIDA, Probolinggo

---

Sebenarnya delegasi Kota Probolinggo cukup berprestasi dalam arena Popda Jatim VIII di Nganjuk. Delegasi Kota Mangga ini berhasil menyabet 2 emas, 4 perak, dan 3 perunggu dari cabang senam. Lalu dari cabang atletik berhasil menyabet 1 emas, 1 perak dan 1 perunggu. Selain itu, 1 perunggu lagi berhasil diraih tim basket putri. Namun, di balik prestasi itu, ada cerita sedih mengalir.

Atlet silat Lailatul Mukaromah dan atlet senam Febrianti Mavitasari mengalami cedera. Lailatul mengalami cedera paling parah dibanding Febrianti. Dua tulang kering di kaki kanan Lailatul patah saat bertanding melawan atlet Mojokerto Titik Kusumawati.

Itu terjadi pada saat pertandingan digelar pada 29 Juli. Akibatnya siswa kelas 3 di MTs Raudlatul Hasaniyah, Jrebeng Lor ini menjalani operasi dan harus dirawat inap.

Lailatul berhadapan dengan Mojokerto setelah berhasil mengalahkan atlit dari Bojonegoro. Ketika melawan Titik, Lailatul kena tendang di kaki kanannya. Sebelum cidera itu terjadi, antara Lailatul dan Titik sudah saling serang, mereka saling tendang. Saat Lailatul menurunkan kakinya, Titik langsung menendang di kaki kanan.

Akhirnya cedera tidak bisa dihindari. "Saya tidak bisa berjalan. Langsung dibawa ke RSUD Nganjuk," kata Lailatul yang tinggal di Kelurahan Kedung Galeng, Kecamatan Wonoasih itu.

Selasa (3/8) lalu, Lailatul masih dirawat di ruang rawat inap Bougenvil kelas 1 A RSUD Dr Moh. Saleh Kota Probolinggo. Saat dikunjungi Radar Bromo, atlet yang bergabung dengan klub pencak silat Macan Ulung itu dijaga oleh orang tuanya, Sanapi dan Tila.

Lailatul dikirim ke ajang Popda setelah sebelumnya menjuarai Wali Kota Cup 2010. Atlet sabuk biru itu dikirim ke Popda bersama 14 atlet pencak silat lainnya.

Laiknya seorang pendekar, Lailatul tak jera menekuni pencak silat kendati gagal mendapat emas, bahkan cedera berat. "Saya tidak kapok. Sejak pertama belajar silat sudah tahu risikonya," kata Lailatul.

Pernyataan Lailatul juga dibenarkan oleh orang tuanya yang berprofesi sebagai buruh tani. "Ini kan keinginannya dia. Saya mendukung saja. Saya tidak akan memaksakan. Ini sudah menjadi risiko dan dia tahu itu," ungkap Sanapi.

Lailatul baru belajar silat sejak kelas 1 SMP. Ia tertarik pencak silat karena olahraga ini di matanya penuh tenaga. Awalnya hanya latihan-latihan dan tidak pernah mengikuti pertandingan. Suatu ketika ia melihat pertandingan atlet silat putri dan langsung tertarik. Sewaktu meminta izin kepada ayahnya, Sanapi pun mendukung penuh sang anak terjun ke pencak silat.

Namun yang disayangkan oleh Sanapi, Lailatul tidak mengabari kalau mengalami cedera. Berbeda dengan biasanya, Lailatul kerap memberi kabar lewat pesan singkat kalau menang atau kalah bertanding. "Dia tidak SMS sama sekali. Saya juga heran. Tahu-tahu dapat kabar kalau cedera dan dia sudah ada di RSUD sini (Probolinggo). Dia cuma ngabari paklik-nya saja," keluhnya.

Kini, Lailatul harus menahan diri untuk bisa kembali latihan apalagi bertanding. Setidaknya, sekitar setahun ia tidak boleh bertanding. Untuk sementara ia hanya diperbolehkan latihan apabila kondisi sudah semakin membaik.

Berbeda dengan cerita Febrianti Mavitasari. Atlet senam ini malah mengalami cedera ketiban simpai (holahop) saat pemanasan sebelum bertanding. Pertandingan senam dilaksanakan 29 Juli di Gedung Juang, Nganjuk pukul 11.00. Itu adalah pertandingan perdana Febrianti bersama regunya.

Cedera itu dialami saat akan bertanding senam ritmik beregu yang terdiri dari free hand, simpai dan bola. Tampilan beregu itu Febrianti bersama Yunia Dili dan Fasti Surya. "Free hand-nya sudah. Diberi waktu untuk pemanasan sebelum simpai," kata anak pasangan Sutarji dan Titin Bunarsih itu.

Sebelum simpai, seluruh atlet mendapat waktu pemanasan selama lima menit. Di lapangan berukuran 12 x 12 itu berisi banyak atlet yang melakukan pemanasan. Tempat yang sempit menjadi kendala pemanasan Febrianti waktu itu.

Febrianti bercerita, saat akan mengambil gerakan pemanasan ia sempat ragu-ragu karena ada banyak anak di depannya. "Saya mau sinerol (gerakan putar badan dan meroda). Waktu memutar simpai saya lempar sekitar ketinggian 8 meter. Mestinya simpai itu saya pegang tapi tidak bisa, memantul lalu kena hidung saya," kenang cewek usia 16 tahun itu.

Pantulan simpai itu mengenai hidung Febrianti. Tak ayal, hidung siswi SMA Muhammadiyah Kota Probolinggo itu langsung mimisan. Mengeluarkan darah hampir selama setengah jam.

"Kayak air pet, ngocor terus dari hidung. Kemudian diberi salep penghilang rasa nyeri sama tim kesehatan dari Kota Probolinggo," tutur pelatih senam Adi Caraka yang siang itu berada di rumah Febrianti.

Buntutnya, regu Kota Probolinggo punya nomor urut 6, tapi terpaksa mundur jadi paling buncit lantaran cidera yang dialami oleh Febrianti. Febrianti pun sempat blank saat akan tanding. Pertandingan berlangsung selama 90 detik, terdiri dari 9 rangkaian dan tarian.

"Tiba-tiba blank. Cuma ingat beberapa rangkaian saja. Saat tampil baru ingat semua dan fresh lagi. Saya waktu itu masih pusing jadi banyak gerakan yang tidak jadi," kata Febrianti. Cidera yang dialami oleh Febrianti ternyata berpengaruh kepada psikologis teman-temannya yang lain.

Yang membuat Febrianti punya semangat untuk melanjutkan pertandingan adalah support yang diberikan oleh teman-temannya dan perintah dari sang pelatih. Beruntungnya meski cidera, untuk senam beregu itu Febrianti berhasil membawa pulang medali perak.

Walau sempat ada atletnya yang cedera, delegasi Kota Prooblinggo tetap bisa berprestasi dalam arena Popda Jatim VIII. Cabang senam, atletik dan basket berhasil menyumbang medali.

Melihat prestasi ini membuat Titin Bunarsih, ibunda Febrianti, mengingat Popda VII yang dilaksanakan dua tahun lalu di Surabaya. Pasalnya, pada Popda tersebut atlet Kota Probolinggo sudah jelas-jelas akan membawa pulang emas justru dibatalkan sendiri oleh Kabid PLS Dinas Pendidikan yang menjabat waktu itu.

"Kami berangkat pakai biaya wali murid sendiri. Sampai izin ke sekolah juga izin sendiri. Sampai di sana sudah tanding dan melihat nilai jelas-jelas dapat emas. Eh malah ada surat katanya atlet dari Kota Probolinggo cuma eksebisi," ungkap Titin yang mengetahui kejadian itu.

Ceritanya, pada Popda VII 2008 lalu atlet seolah "dibunuh" prestasinya. Karena ada surat pembatalan kontingen senam Kota Probolinggo sebagai peserta Popda. Surat itu dibuat atas surat yang telah dikirim oleh Kabid PLS Dinas Pendidikan.

Tapi, rasa sakit hati itu seolah terobati dengan diraihnya prestasi dalam Popda tahun ini. Febrianti yang juga ikut saat Popda dua tahun lalu mengaku tidak trauma karena jauh-jauh hari sudah ada pemberitahuan kalau bakal diberangkatkan ke Nganjuk.

Kondisi Febrianti sebenarnya masih belum fit benar. Selama tiga hari (terhitung mulai 2 Agustus) jika masih merasakan pusing maka Febrianti diminta rontgen. Tidak hanya mendapat medali dan cedera, sejumlah atlet juga kena herpes saat berada di Nganjuk. Maklum karena mereka harus tidur di atas bangku dan karpet.

"Saya kena di bagian mata, tapi sekarang sudah kering setelah diberi salep," ucap kakak atlit senam artistik Aprilia Puspitadewi yang juga mendapat medali perunggu di Popda kemarin. (yud)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=173491

Tidak ada komentar:

Posting Komentar