Senin, 14 Juni 2010

Jejak-Jejak Kalpataru yang Pernah Diraih Probolinggo-Pasuruan (1)

[ Minggu, 13 Juni 2010 ]
Ada Perdes untuk Lindungi Hutan Mangrove

Keberhasilan Probolinggo dan Pasuruan meraih Kalpataru 2010 melalui Endang Sulistyowati dan Cholifah sebenarnya bukan prestasi pertama. Dari Kabupaten Probolinggo pernah ada nama Moestakim yang meraih Kalpataru pada 1982. Dari Kabupaten Pasuruan ada nama Mukarim yang meraih Kalpataru 2005. Sayang, kini Moestakim telah tiada.

MUHAMMAD FAHMI, Probolinggo

Moestakim meraih Kalpataru pada 1982 berkat langkahnya merawat hutan mangrove di desa Curahsawo, Gending Kabupaten Probolinggo. Hutan mangrove itu kondisinya pasang surut. Sempat terancam keberadaannya. Dan beberapa tahun belakangan ini mulai bangkit kembali.

Lima buah piagam yang dikemas dalam pigura nampak tersimpan di salah satu sudut ruangan balai desa Curahsawo. Beberapa piagam tersebut banyak yang berselimut debu.

"Sebelumnya piagam-piagam ini kami pajang di dinding. Tetapi karena balai desa kami beberapa bulan lalu dicat, jadi piagamnya diturunkan. Rencananya akan dipajang lagi," kata Abdul Hamid, salah satu perangkat desa Curahsawo kala menyambut Radar Bromo, Kamis (10/6) lalu.

Menurut Hamid, piagam-piagam tersebut memang sengaja disimpan. "Ini bukti kalau hutan mangrove di daerah kami sudah pernah diakui oleh pemerintah Indonesia," imbuhnya.

Kelima piagam tersebut memang khusus diberikan atas keberhasilan merawat hutan mangrove di sepanjang pantai Curahsawo. Dua di antara piagam itu diberikan atas nama pribadi kepada Moestakim, warga setempat yang sangat peduli pada lingkungan hidup, khususnya hutan mangrove.

Moestakim ini tercatat juga pernah meraih piala Kalpataru pada 1982 silam. Itu juga dari keberhasilan merawat hutan mangrove Curahsawo. "Kalau piala Kalpatarunya disimpan di kantor pemkab," kata Abdul Haris.

Sugiyanto, salah satu tokoh pemuda desa setempat yang juga intens atas perkembangan lingkungan mengatakan, keberadaan hutan mangrove sudah cukup lama di desanya. Pada 1970-an hutan mangrove di desa Curahsawo sangat lebat, tetapi tidak terawat.

Lambat tahun, keberadaan hutan mangrove tersebut semakin terkikis karena banyak dirusak warga setempat. "Lalu muncul (alm) Pak Moestakim yang dengan intens merawat hutan mangrove itu," cerita Sugiyanto.

Dari kegigihan Moestakim ini, keberadaan hutan mangrove di Curahsawo pun dapat tertata dengan baik. Sampai akhirnya Moestakim mendapatkan Kalpataru sebagai penghargaan atas kepedulian dan langkah-langkahnya rehabilitasi hutan mangrove.

Menurut Sugiyanto, Moestakim saat itu cukup gigih memberikan pengertian kepada warga setempat terkait keberadaan hutan mangrove. "Masyarakat pun akhirnya menjadi sadar akan pentingnya mangrove. Sehingga pola hidup yang dulu suka menebangi mangrove akhirnya tidak dilakukan lagi," kata Sugiyanto.

Nah, masa-masa tahun 1980-an itu kondisi hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai Curahsawo berada dalam kondisi terbaik. Beragam penghargaan pun diberikan pemerintah atas keberhasilan itu.

Tetapi memasuki akhir tahun 1990-an, kondisi hutan mangrove mulai rusak kembali. Peran LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) kini LKD, pimpinan Moestakim saat itu kurang aktif. Lantaran Moestakim sudah sakit-sakitan dan akhirnya tutup usia pada 1998.

Saat itu banyak masyarakat setempat yang lebih tergiur membuat tambak. "Pemerintah desa saat itu kurang selektif. Sehingga banyak warga yang mengajukan surat kepemilikan lahan banyak yang di-acc. Alhasil hutan mangrove banyak diprivatisasi dan dialihfungsikan untuk tambak," kenang Sugiyanto.

Meski Sugiyanto tidak tahu persis berapa luas lahan mangrove yang dialih fungsikan itu, namun dipastikan cukup luas. "Dari awalnya yang seluas sekitar 75 hektare, menurun sampai tinggal sekitar 25 hektare," prediksi Sugiyanto.

Nah, pada 2002-an ada pergantian pemerintah desa. Pergantian itu rupanya berdampak baik bagi perkembangan mangrove di desa setempat. "Pemerintah desa yang baru sampai sekarang ini lebih mempersulit aturan soal mangrove," kata Sugiyanto.

Selain itu pemerintah desa juga membentuk kelompok pemuda yang khusus untuk rehabilitasi keberadaan hutan mangrove. Kebetulan dua tahun berikutnya pada 2004, salah satu LSM Jepang yang bergerak pada rehabilitasi lingkungan OISCA juga turut membantu dalam proses rehabilitasi itu.

Selain memberikan bantuan ribuan bibit mangrove, LSM OISCA juga membentuk organisasi Bentar Indah yang diberi tugas membantu pemerintah desa setempat dalam rehabilitasi hutan mangrove.

Kelompok pemuda desa beserta LSM OISCA itu tidak hanya rehabilitasi, tetapi meluaskan areal mangrove, karena sebagian besar hutan mangrove sudah banyak yang dijadikan tambak. "Tetapi untuk menanam di areal baru itu cukup sulit juga," jelas Sugiyanto.

"Daerah baru pinggir pantai persisi itu tanahnya cukup gersang, jadi tumbuhnya mangrove cukup sulit. Tetapi bantuan dari OISCA itu juga cukup lumayan. Selama empat tahun di Curahsawo, sekarang ini luas hutan mangrove sekitar 50 hektare lagi," beber Sugiyanto.

Karena dinilai cukup berhasil mengembalikan rehabilitasi hutan mangrove tersebut, Sugiyanto sendiri ketua kelompok pemuda taruna Curahsawo juga mendapatkan penghargaan pada 2009 lalu. Sugiyanto dinobatkan sebagai pemuda pelopor di bidang kebaharian dan kelautan dari Kanpora Jatim.

"Kami berharap kedepan hutan mangrove ini semakin terawat karena mangrove ini cukup memberikan banyak manfaatnya. Selain bisa meningkatkan populasi ikan, juga mencegah abrasi," jelasnya.

Kades Curahsawo H Akbar Busthony mengatakan, pihak pemerintah desa sendiri saat ini sudah memberlakukan aturan ketat demi melindungi hutan mangrove itu. "Kami sudah buat perdes (peraturan desa). Jadi tindakan yang mengancam keberadaan mangrove, dilarang keras," katanya. (yud)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=164203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar