Kamis, 12 Agustus 2010

Satu Siswa Menyusul

[ Kamis, 12 Agustus 2010 ]
DO di SMAN 2 gara-gara Facebook

PROBOLINGGO - Kasus DO (drop out) -bahasa versi sekolah: dikembalikan kepada orang tua- di SMAN 2 Kota Probolinggo bergulir lagi. Setelah empat siswi di-DO, kini menyusul lagi dua siswa kena sanksi, juga karena berkomentar di facebook (fb). Satu siswa di-DO, satu siswa diskorsing.

Komisi A DPRD Kota Probolinggo kemarin (11/8) menerima surat tembusan resmi dari SMAN 2. Isinya menyebutkan Robby Arifin Irmansyah dikenai sanksi dikembalikan ke orang tua, senasib dengan empat siswi lain yakni Devi, Anisa, Mega dan Rosdiana.

"Sementara Hizaburrahman Geraldi diskors dari sekolah selama satu minggu. Kami sudah menerima surat resmi tembusan," tutur Ketua Komisi A Asad Anshari kepada Radar Bromo kemarin.

Diberitakan Radar Bromo sebelumnya, empat siswi SMAN 2 Devi, Anisa, Mega dan Rosdiana di-DO sekolahnya. Penyebabnya, mereka berkomentar di fb soal kejadian-kejadian di sekolahnya. Mulai soal jok motor disilet, sepatu disilet, sampai helm hilang di parkiran. Kejadian-kejadian itu dilaporkan ke kesiswaan, tapi dirasa tak ada respons.

Dalam komentar di fb, ada beberapa ungkapan yang dinilai sudah terlalu kasar dan memfitnah. Ujungnya, empat siswi tersebut dikembalikan kepada orang tuanya alias di-DO.

Masalahnya, ada dua siswa lain yang sempat ikut berkomentar. Tapi, sampai Devi cs di-DO, dua siswa itu tak mendapat sanksi apapun. Saat komisi A menggelar hearing pada Selasa (10/8) lalu, masalah dua siswa yang tak mendapat sanksi itu juga disinggung.

Rupanya, setelah hearing dengan dewan, SMAN 2 langsung bergerak menindak dua siswa Robby dan Geraldi. Artinya, Robby dinaggap sudah melakukan pelanggaran tipe A sama seperti yang dilakukan oleh Devi, Mega, Rosdiana dan Anisa.

Sedangkan Geraldi, masih mendapat toleransi karena kalimat yang diutarakan tidak sekasar teman-temannya yang lain. Safiudin dalam hearing menyatakan bahwa satu siswa dinyatakan melakukan pelanggaran tipe C.

Selain itu, dalam hearing Komisi A Selasa lalu Kepala Dinas Pendidikan Maksum Subani juga menyanggupi mencarikan celah agar para murid SMAN 2 yang di-DO itu bisa kembali dapat sekolah negeri. Pilihannya jika tidak di SMAN 3 atau SMAN 4. SMAN 1 tidak mungkin karena grade lebih tinggi dari SMAN 2 dan berstatus RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional).

Atas kesanggupan itu, komisi A dan Dewan Pendidikan menyatakan bakal terus memantau dan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan. "Solusi yang saya tawarkan kemarin (saat hearing) kan sudah disepakati bersama. Untuk itu menjadi kewajiban komisi A mengupayakan agar kesepakatan itu terealisasi," kata Asad Anshari.

Langkah yang bakal ditempuh oleh komisi A ini adalah terus memantau proses solusi agar dapat benar-benar dilaksanakan yakni pindahnya lima anak ke SMAN 3 atau SMAN 4. "Kami terus berkomunikasi dengan kepala Dinas Pendidikan, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4 serta wali murid termasuk muridnya," tegas Asad yang politisi PKNU itu.

Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Wawan Edi Kuswandoro menyatakan, upaya Dinas Pendidikan dan jajarannya untuk memasukkan siswa ke sekolah negeri walau nabrak aturan, patut dihargai. Tapi, lanjut Wawan, itu sudah menjadi tanggung jawab dan konsekuensi karena jajarannya (SMAN 2) telah membuat anak-anak itu sempat kehilangan hak belajarnya dengan sanksi seberat itu.

Tapi, Wawan mengingatkan, ketika anak-anak itu nanti berhasil dimasukkan ke sekolah negeri, bukan berarti masalah telah selesai begitu saja. Masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

"Sekolah yang baru harus menerima anak-anak ini dengan baik dan tanpa diskriminasi dengan tidak men-cap mereka sebagai anak nakal atau tukang ngerusuhi sekolah atau dianggap sebagai calon perusuh di tempat baru," jelasnya.

Selain itu, Wawan berharap anak-anak itu dibebaskan dari biaya masuk walaupun secara administrasi boleh dikategorikan pindah sekolah. Selain itu perlu evaluasi manajemen sekolah dan persepsi mendidik yang diterapkan oleh pengelola SMAN 2. Ini agar tidak terlalu mudah "mengembalikan anak ke orang tua".

Belajar dari kasus ini, menurut Wawan, sangat mendesak dilakukan evaluasi dan reorientasi terhadap paradigma pendidikan yang dijalankan oleh semua sekolah di Kota Probolinggo. Itu agar ada persepsi yang sama dan konsisten. Bahwa pendidikan adalah demi kepentingan terbaik untuk anak dengan menerapkan pendidikan yang ramah anak.

Sekolah dimanage untuk melayani murid (masyarakat) bukan melayani birokrasi. Sehingga komunikasi harus terjalin baik antar sekolah sebagai penyedia layanan jasa pendidikan dengan masyarakat sebagai user layanan jasa tersebut, agar sama-sama paham hak-hak dan kewajibannya.

Contoh kasusnya, masih kata Wawan, jika ketika PSB (penerimaan siswa baru) sekolah ramai-ramai kampanye adu bagus program untuk menarik simpati masyarakat agar mendapat murid. Tapi, ketika murid sudah ada di dalam, jangan diperlakukan secara sepihak. Misalnya salah sedikit dikembalikan ke orangtua.

"Dalam hal ini jangan tabu untuk melakukan perombakan terhadap tatib sekolah yang masih memuat klausul-klausul bertentangan dengan semangat pendidikan yang ramah terhadap anak," ungkap mantan anggota KPU (komisi pemilihan umum) Kota Probolinggo ini.

Soal penggunaan TI (tekhnologi informasi) dalam komunikasi antara sekolah dengan warga belajarnya, termasuk dengan orang tua, baik untuk dikembangkan. Tapi harus dilakukan secara tepat dan proporsional.

"Ini sangat membantu sekolah. Sebagai lembaga bermanajemen modern sekolah harus mendasarkan layanannya berbasis kebutuhan penggunannya. Jadi, harus tahu segala keluh kesah penggunanya," tutur Wawan. (fa/yud)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=showpage&rkat=4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar