Selasa, 04 Mei 2010

Ketika Para Guru di Kota Probolinggo Diharuskan Dapat Burung untuk Dilepas di Hardiknas

[ Selasa, 04 Mei 2010 ]
Sagu Sarung, Burung Dara Bikin Cemburu

Gerakan Kota Probolinggo berkicau yang dicanangkan pemkot setempat, terus bergulir. Berbagai momen diwarnai acara pelepasan burung berkicau. Kemarin (3/5) di peringatan hari pendidikan nasional (hardiknas), para guru melepas ratusan burung. Melepasnya memang mudah. Tapi untuk mendapatkan burung itu dirasa penuh perjuangan.

FAMY DECTA MAULIDA., Probolinggo

Jalan setapak sisi barat dan timur menuju pendapa alun-alun Kota Probolinggo pagi kemarin berjejer sangkar burung. Lebih dari 500 burung siap dilepas dalam upacara peringatan hardiknas.

Guna menunjukkan si pemiliknya, masing-masing sekolah menuliskan nama sekolahnya pada secarik kertas lalu ditempel di sangkar. Jenis burungnya antara lain kutilang, crucukan dan perkutut. Tapi, tidak hanya burung berkicau, beberapa sekolah malah melepas burung dara atau merpati.

Melihat ada sekolah yang membawa burung dara, sejumlah sekolah lainnya malah jealous. Mereka mengaku kalau sekolah tersebut tidak sportif lantaran yang diimbau adalah jenis burung kerkicau.

"Kalau tahu begitu ikut bawa burung dara saja, tidak perlu mencari sampai jauh-jauh. Jangan-jangan itu nyewa terus nanti burungnya kembali ke pemiliknya," ujar salah seorang guru dengan nada kesal.

Bermacam perjuangan yang dihadapi guru ketika harus mencari burung. Dinas Pendidikan membuat kebijakan saat acara hardiknas. Setiap satu orang guru, membawa satu burung, atau sagu sarung. Jadi, wajib bagi setiap guru untuk membeli burung demi suksesnya program menuju Kota Probolinggo berkicau.

Kepala SMA Negeri 1 Abdullah menceritakan sekitar 50 burung berkicau jenis kutilang dan jarak yang dibawanya. Lima puluh burung itu sesuai dengan jumlah guru dan staf di SMAN 1. Abdullah menunjuk satu orang guru untuk jadi koordinator burung. Lalu ada guru yang bersedia ikut mencarikan.

Mencari bukan berarti mencari di hutan sendiri. Tetapi mencari burung ke pengepul atau pedagang. "Kami sampai mencari di Pasuruan, Muneng dan Krucil. Ada guru yang sudah siap (punya) tetapi ada yang tidak ada. Karena jumlahnya banyak harus beli ke beberapa tempat," ujarnya.

Sejak tiga hari yang lalu (Kamis), SMAN 1 berhasil mengumpulkan burung sesuai dengan jumlah guru yang ada. Tapi carinya sudah sekitar seminggu lalu. "Kalau terlalu lama didiamkan di sekolah, makannya sulit," imbuh Abdullah.

Abdullah mengaku sangat mendukung program pemerintah dalam kepedulian lingkungan. Salah satu pelepasan burung. Ditanya soal anggaran, Abdullah mengatakan kalau satu burung budget-nya Rp 10 ribu. "Uangnya dibayari sekolah dulu," tambahnya.

Sedangkan Kepala SD Manungharjo 1 Nur Kholiq bilang sejak mendapatkan sosialisasi dari Diknas (Dinas Pendidikan), ia berhasil mendapat 15 burung kutilang. Itu dari seorang pedagang di Kebonsari Kulon.

"Mulanya setiap lembaga 20 burung. Tapi kemudian diganti satu guru satu burung. Saya minta tolong ke teman-teman, tanya informasi penjual burung dapatnya di sana (Kebonsari Kulon)," katanya.

Saat ada rekannya bertanya tempat beli burung berkicau. Nur langsung merekomendasikan di mana tempat dia pernah beli burung. Tapi sayangnya, temannya itu tidak kebagian karena di Kebonsari Kulon barangnya sudah tidak ada. Akhirnya mereka terpaksa mencari sampai ke Lumajang.

Perjuangan berat dirasakan pula oleh guru olahraga SMK Negeri 4 Yudha Kurniawan. "Kami sampai mencari ke pengepulnya di Maron dan Tiris. Tetap tidak ada. Di pedagang pasar juga tidak ada. Biasanya di pengepul itu harganya cuma Rp 5 ribu, sekarang malah jadi Rp 17.500," cerita dia.

Yudha terpaksa mencari sampai ke pengepul karena badget yang disiapkan oleh sekolah hanya Rp 10 ribu. Sementara harga jual di pasaran melebihi budget. Usaha mencari harga burung lebih murah ke pengepul pun gagal. Mau tidak mau akhirnya dapat di pedagang dengan harga melambung.

Pesan ke pedagang pun harus pandai-pandai. Jika tidak, hanya sekedar diberi janji. Itu terjadi ketika duit panjer yang diberikan kepada pedagang lebih kecil dari pembeli lainnya.

"Harus ada panjer dulu. Kalau misalnya panjernya Rp 12 ribu, terus ada pembeli lain yang berani harga Rp 15 ribu, sama pedagangnya dikasihkan orang itu. Bilangnya ke kami barangnya belum ada. Padahal sudah ada, tapi dijual ke orang lain," aku Yudha yang sempat ketar-ketir karena kesulitan mendapat burung.

Baru Minggu (2/5) pagi, SMKN 4 mendapatkan burung berkicau sebanyak 50 ekor. Ada kutilang, crucukan dan cendet. "50 ekor, mati lima. Ada yang tidak mau makan. Terus terang sulit sekali mencari burungnya," ujar Yudha.

Kesulitan mendapatkan burung berkicau juga dialami Kepala SD Sumberwetan 2 Agus Lithanta dan Kepala SMPN 8 Eko Cahyono. Dari jumlah guru yang ada, Agus kekurangan burung berkicau dan menggantinya dengan burung dara. Itu terpaksa dilakukan karena sulit dan waktunya mepet.

"Satu burung, diganti dengan burung dara. Tapi, itu beli asli. Bukan punya orang lain yang saya sewa. Bukan burung andokan," cetus Agus.

Eko, rekannya mengaku mencarinya sampai ke luar kota, di Lumajang. "Karena kan rumah saya di sana," tuturnya setelah melepaskan burung dari sangkarnya. (yud)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=156410

Tidak ada komentar:

Posting Komentar