Rabu, 23 Juni 2010

Rahmat Nur Musleh, Bocah Kota Probolinggo yang Putus Sekolah karena Faktor Ekonomi

[ Rabu, 23 Juni 2010 ]
Terputus karena Tak Sanggup Bayar Uang Seragam

Masih juga ada bocah di negeri ini yang tak bisa sekolah hanya karena kendala biaya. Salah satunya adalah Rahmat Nur Musleh, 9, bocah asal Kota Probolinggo. Sejak dua tahun lalu ia terpaksa putus sekolah dari sebuah SD negeri di Kota Mangga ini.

RUDIANTO, Probolinggo

Seorang bocah mengayun sepeda onthel di kawasan Jl Dr Wahidin, Kelurahan Sukabumi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo kemarin. Bocah lelaki itu mengenakan pakaian yang terkesan lusuh. Walau begitu, bocah itu tetap riang bermain.

Bocah itu adalah Rahmat Nur Musleh. Usianya kini 9 tahun. Tapi ia tak bersekolah. Sejak dua tahun lalu Rahmat tak bersekolah lagi. Ini tentu tak sesuai dengan program wajar dikdas, alias wajib belajar pendidikan dasar.

Rahmat tinggal dengan keluarganya di sebuah rumah di RT 3/ RW 6 Kelurahan Sukabumi. Rumah yang berjarak sekitar 100 meter dari sebuah mulut gang sempit itu sangat kontras dengan rumah-rumah di sekitarnya.

Rumah yang ditinggali Rahmat dengan orang tua dan kakak perempuannya, Desy Wahyuni, lebih tepat disebut gubuk. Dindingnya terbuat dari kayu dan gedhek. Lantainya plesteran biasa. Di ruang tamu hanya terdapat kursi tamu yang soak. Di halaman sisi utara rumah yang menghadap ke timur itu, ada tungku pertapian. Di sanalan, keluarga Rahmat memasak nasi dengan menggunakan bahan bakar kayu.

Kemarin saat Radar Bromo berkunjung, rumah tersebut terlihat lengang. Hanya Rahmat yang datang menyambut. "Sebentar Om, saya panggil dulu. Bapak ada di rumah tetangga, sedang mijat," ujar Rahmat kemudian bergegas pergi.

Tak lama kemudian muncullah Rahmat dan ayahnya, Suharyono, 46. "Maaf, saya diminta mijit. Ini masih belum selesai," ujar Suharyono sambil menyorongkan jabat tangan.

Fisik Suharyono terlihat masih gagah. Tapi, nasibnya kurang beruntung. Saban harinya, lelaki ini hanya mengandalkan kemampuannya memijat sebagai jaminan penghidupannya. Kondisi itu yang membuat putranya sampai harus berkorban, tak bisa sekolah.

Suharyono bercerita, dua tahun lalu Rahmat sempat sekolah di sebuah SD negeri di Kota Probolinggo. Tapi, baru dua bulan sekolah, Rahmat harus putus. Suharyono yang terpaksa meminta Rahmat berhenti sekolah. Itu terjadi ketika Suharyono merasa tak sanggup memenuhi kewajiban Rahmat membayar uang seragam sebesar Rp 160 ribu.

Sebenarnya, Suharyono sangat tidak ingin anaknya putus sekolah. Tapi, pilihan pahit itu harus diambilnya. Ia merasa tak bisa menemukan jalan lain. Kondisi ekonomi membuatnya tega membuat anaknya putus sekolah.

Apalagi, Suharyono masih harus membiayai anak pertamanya, Desy Wahyuni, 13, yang saat itu sudah duduk di bangku kelas IV SD. "Sebenarnya, saya tidak tega, hampir setiap hari dia (Rahmat) minta sekolah," kata Suharyono dengan mata menerawang.

Semua usaha sudah dilakukan oleh Suharyono untuk memenuhi kebutuhan putranya. Tapi, semunya masih belum membuahkan hasil. Mengandalkan penghasilannya sebagai tukang pijat, jelas tidak mungkin. "Saya dapat uang, kalau ada orang minta pijat. Tapi, kan tidak setiap hari ada orang minta pijat," ujarnya.

Pernah Suharyono melirik barang-barang di rumahnya untuk dijual. Tapi, di rumahnya tak ada barang berharga yang bisa dijual. Jangankan benda berharga, radio saja Suharyono tidak punya. "Rumah ini, saya juga sewa, Mas. Setahun 750 ribu," ujarnya.

Tidak sekolah membuat Rahmat dihinggapi perasaan minder. Bocah itu sampai enggan bermain dengan teman sebayanya. Bahkan bila diminta untuk tolong membeli sesuatu di warung terdekat, Rahmat menolak. Alasannya, malu karena tidak bersekolah.

"Sebenarnya saya nelongso. Kasihan melihat dia terus minta sekolah. Tapi kondisi kami seperti ini, mau gimana lagi," ujar Levi Sariyana, ibu Rahmat.

Kini, beban Suharyono lebih berat lagi. Putri pertamanya akan melanjutkan ke SMP. Suharyono dan Levi jelas harus menyiapkan duit yang tidak sedikit untuk kepentingan Desy yang lulusan SDN Mangunharjo 3 masuk SMP.

Tapi, cita-cita Desy untuk melanjutkan ke SMP terancam kandas. Suharyono dan Levi mengaku kesulitan duit. "Saya ingin anak-anak saya lebih baik dari saya. Kalau perlu, mereka bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Tapi, sampai di sini sudah ada kendala semacam ini," ujar Suharyono yang lulusan SMA.

Masa pendaftaran sekolah sudah dekat. Suharyono dan Levi hanya bisa berharap ada keajaiban agar putrinya bisa meneruskan sekolah di tingkat SMP.

Desy sendiri tak tahu bakal bisa meneruskan sekolah di SMP mana. "Nanti apa katanya bapak sama ibu. Kalau saya ya ingin sekolah di sekolah favorit," ujar Desy. "Kalau tidak bisa di sekolah favorit, di mana saja, yang penting sekolah," lanjutnya dengan raut menyiratkan kekecewaan.

Pengharapan serupa diungkapkan Rahmat. Saat ditanya, Rahmat mengaku masih sangat ingin sekolah. "Ya ingin, seperti teman-teman yang lain," ucapnya. (yud)

Sumber : http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=165960

Tidak ada komentar:

Posting Komentar