Jumat, 11 Juni 2010

Kisah Wandi Chan, Pemuda Gending yang Hidup dengan Kaki Dirantai

[ Jum'at, 11 Juni 2010 ]
Wandi Chan, 27, warga Dusun Tambak, Desa Curahsawo, Gending Kabupaten Probolinggo minder oleh kelainan genetik yang membuat kulitnya belang. Ia sampai mengalami depresi dan kian parah kala kedua orang tuanya meninggal. Kini, pemuda itu harus hidup dengan kaki dirantai.

MUHAMMAD FAHMI, Probolinggo

Melihat kondisi Wandi Chan, atau biasa disapa Wawan, di kediamannya di Dusun Tambak yang muncul hanya rasa getir. Sehari-harinya, pemuda itu hanya menghabiskan waktunya dengan duduk-duduk atau tiduran di sebuah kursi kayu panjang.

Kursi itu nampak sudah menyatu dengannya. Betapa tidak, kaki kiri Wawan dirantai dan dikaitkan pada kursi tersebut. Kursi itu sendiri ditempatkan di samping rumah. Dulunya, tempat itu merupakan dapur.

Kondisi tempat Wawan tinggal pun sungguh tidak layak. Bekas dapur berada pada sebuah areal tanah kosong di belakang rumah dekat rawa kecil. Selain tidak sedap dipandang mata, lokasi tempat saban hari Wawan menjalani hidup itu juga berbau tak sedap.

Betapa tidak. Biasanya Wawan buang air besar dan kecil di tempat itu. Bahkan terkadang Wawan (maaf) sampai memakan sendiri kotorannya itu. Atau ia memakan tanah di sekitar lokasi tersebut.

Saat Radar Bromo bertandang ke rumah itu kemarin (10/6), Wawan dalam kondisi telanjang bulat. "Ya beginilah kondisinya sehari-hari," ujar Ani, 28, kakak ipar Wawan, sambil menutupkan sebuah sarung berwarna hijau ke tubuh Wawan.

"Biasanya kalau diberi pakaian ia (Wawan) itu tidak mau. Kadang bajunya disobek. Karena itu ia sudah jarang memakai baju lagi," imbuh Ani. Tetapi kebetulan saat Wawan disarungi kemarin, ia nampak tidak marah dan menurut.

Pemuda itu diam seribu bahasa saat beberapa wartawan dan warga melihat kondisinya siang kemarin. Rudi, 31, sang kakak, menceritakan bahwa kondisi adik satu-satunya itu mulai terguncang sejak lulus SMP. "Mau lulus SMP itu sudah agak depresi. Tetapi depresinya begitu terlihat sejak ia lulus SMP," katanya.

Diceritakan Rudi, Wawan yang terlahir dengan kondisi tidak normal. Wawan mengalami kelainan genetik yang membuat kulitnya belang. Di dunia medis, Wawan disebut mengalami albinisme parsial. Pada bagian-bagian tertentu kulitnya tidak dapat membentuk melanin.

Pada orang normal, ada asam amino yang disebut tirosin, oleh tubuh diubah menjadi pigmen (zat warnan) melanin. Nah, orang yang mengalami albinisme (orangnya disebut albino) ini tubuhnya tidak mampu atau menyebarluaskan melanin karena beberapa penyebab.

Pada tubuh Wawan, ada beberapa bagian tubuhnya yang belang menjadi putih. Yakni di bagian dahi, tangan, dada sampai perut, dan kaki. Menurut Rudi, karena kondisi kulitnya itu Wawan tidak pede (percaya diri).

Nah, kondisi itu diperparah dengan pergaulan Wawan setiap harinya. Beberapa temannya juga sering mengolok-oloknya karena kelainan itu. "Karena sering diolok-olok temannya, dan belum punya pacar akhirnya ia depresi," kata Rudi.

Setelah lulus dari SMPN 1 Gending, Wawan pun enggan melanjutkan sekolahnya karena malu. Sejak saat itu, Wawan semakin jarang keluar rumah. Ia kebanyakan mengurung diri, hingga akhirnya kejiwaannya mulai terganggu.

"Saat itu ia sempat dibawa almarhum ayah saya ke dr Agus di RS Hidayatullah Kota Probolinggo pada tahun 2000-an. Kondisinya sempat membaik. Namun karena kami tidak punya uang, akhirnya ia tidak sampai tuntas menjalani pengobatan," tutur Rudi dengan mata menerawang.

Meski masih belum sembuh, namun kondisi Wawan saat itu tidak terlalu parah. Sehari-harinya Wawan hanya diam dan seperti orang linglung. Tapi, ia tidak pernah berbuat aneh-aneh.

Lalu pada 2007, Wawan semakin terguncang kondisi psikologisnya. Itu setelah kedua orang tuanya meninggal dalam rentang waktu tak lama. "Usai ibu (Ana) meninggal, seminggu kemudian ayah (Angga Cahyana) juga meninggal. Mereka sakit juga karena memikirkan kondisi Wawan," kata Rudi.

Sejak saat itu emosi Wawan sangat labil. Ia sering memukuli dirinya sendiri. Sampai-sampai ia juga mencabuti sebagian rambutnya. Kini, bagian tengah rambut Wawan sampai botak. "Itu karena dicabuti sendiri," kata Rudi.

Rudi yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh nelayan sedianya ingin sekali membawa adiknya tersebut ke rumah sakit jiwa. Namun, kondisi ekonomi Rudi tak memungkinkan untuk itu.

Kondisi Wawan pun terus memburuk. Dan sejak enam bulan lalu, Wawan terpaksa dirantai kakinya. "Kalau tidak dirantai, kami keluarganya takut didemo oleh warga lainnya," kata Rudi.

Menurut Ani, istri Rudi, keluarga sering mendapatkan keluhan dari para tetangganya dengan sikap Wawan selama belum dirantai. Wawan sering keluar masuk rumah warga tanpa permisi.

"Katanya, Wawan juga sering mengambil makanan atau barang-barang di toko tetangga. Terus juga masuk ke rumah-rumah sampai kamar. Saya sendiri tidak tahu kebenarannya. Itu cerita warga," jelas Ani.

Karena alasan itu, Wawan akhirnya dirantai. Awalnya Wawan dirantai di dalam rumah. "Tetapi karena saya punya anak kecil, dan sering saya tinggali jadi Wawan akhirnya ditempatkan disini (dulu bekas dapur). Dulu pernah dirantai di kasur, tetapi malah dirusak," cerita Rudi.

Menurut Rudi, sejak Wawan menderita kelainan jiwa, pemerintah setempat masih belum pernah memberikan bantuan sama sekali kepada pihak keluarganya. "Sebenarnya saya ingin melihat ia sembuh lagi. Kasihan ia belum menikah," kata Rudi prihatin.

Sementara itu kades Curah Sawo H Akbar Busthony mengataka, pihaknya telah mengetahui keberadaan Wawan. Pihak pemerintah desa sendiri menurutnya sudah beberapa kali melaporkan kondisi Wawan itu kepada dinas terkait (Dinsos). Tetapi sampai sejauh ini masih belum ada tanggapannya.

"Tetapi kami akan terus melakukan upaya agar Wawan mendapatkan bantuan dari instansi terkait. Kami juga prihatin dengan kondisi Wawan dan keluarganya," jelas Kades Akbar. (*)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=163869

Tidak ada komentar:

Posting Komentar