Rabu, 08 September 2010

RSUD Memprihatinkan

[ Rabu, 08 September 2010 ]
Tidak Cerminkan ISO, Minim Alat Habis Pakai

PROBOLINGGO - Hearing yang digelar Komisi C DPRD Kota Probolinggo dengan pihak RSUD Dr Moh Saleh kemarin (7/9) seperti ajang curhat. Di forum tersebut dibeberkan kondisi betapa memprihatinkan kondisi RSUD. Rumah sakit milik pemkot itu "miskin" kebutuhan mendasar untuk operasional pelayanan.

RSUD bahkan disebutkan tidak punya anggaran yang akhirnya berdampak pada operasional sehari-hari. RSUD tidak punya masker, sarung tangan, krisis kebutuhan oksigen untuk pasien. Padahal peralatan habis pakai itulah yang dibutuhkan paramedis sehari-hari. "Ini rumah sakit atau puskesmas di pucuk gunung?" tanya Ketua Komisi C Nasution dalam hearing dengan nada keheranan.

Kabar dari permasalahan di rumah sakit milik pemerintah itu begitu mengenaskan. Kata Cak Yon, sapaan Nasution, isu yang berkembang di lapisan masyarakat jelas berpengaruh tidak baik dan menyangkut pelayanan masyarakat.

Hearing kemarin dihadiri awak RSUD lengkap. Mulai dari komite medik, komite keperawatan, manajemen RSUD, direktur serta Ketua IDI Kota Probolinggo dr Djauhar.

Direktur dr Budi Purwohadi lebih menjelaskan tentang pengelolaan keuangan RSUD. Menurutnya, pengelolaan keuangan rumah sakit adalah swadana yang artinya tidak disetor ke kas daerah. Oleh karenanya rumah sakit menyusun keuangan dan merencanakan keuangan seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Saya mempresentasikan, hasilnya yang dipakai punya Bappeda. RSUD ini punya dana dari pusat untuk operasional Rp 5 M tetapi dimasukkan dalam PAD (pendapatan asli daerah). PAK (perubahan anggaran keuangan) mau presentasi, dana pemkot sudah habis," keluh dr Budi.

Kenapa RSUD tidak bisa mencairkan duit jasa medis? "Karena uang yang didapatkan rumah sakit selama satu hari, 24 jam disetor ke kasda," tegasnya. Pernyataan direktur dibenarkan oleh dr Supriyadi dari komite medik RSUD. Adanya perubahan sistem pengelolaan keuangan pasti mempengaruhi sistem pelayanan kepada masyarakat.

"Pasti mempengaruhi. Dana terbatas tapi harus memberi pelayanan yang baik. Sedangkan obat-obat kurang, alat habis pakai seperti oksigen dan masker habis. Masker beberapa hari di rumah sakit itu tidak ada. Tetapi kami berusaha bertindak sesuai prosedur yang ada," ungkap dokter spesialis paru tersebut.

Dokter Budi Satriyo menuturkan bahwa pihaknya bersama dokter lain sudah bekerja secara profesional. Namun kondisi yang terjadi di rumah sakit tidak mencerminkan sertifikasi ISO yang diperoleh RSUD Dr Moh. Saleh.

"Dimensi mutu harus teratur. Sarung tangan itu harganya berapa? Rp 30 ribu. Itu saja habis (di RSUD). Akhirnya komite keperawatan sendiri yang harus membeli. Kami tidak mengada-ada menuntut jasa medis. Jasa medis itu dari penghasilan RSUD, bukan breakdown dari APBD," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komite Keperawatan Joko Cahyono banyak menyampaikan keluhan paramedis setelah kebijakan berubah menjadi satker. Yaitu rencana anggaran atau kebutuhan yang sudah direncanakan untuk tahun yang akan datang banyak yang belum terealisasi, padahal rumah sakit sangat membutuhkan.

Seperti kebutuhan linen belum sesuai standar minimal, banyak tempat tidur yang tidak layak pakai masih tetap dipergunakan, banyak alat yang rusak, tempat tidur khusus anak tidak ada pelindung (perbaikan tunggu dana keluar) dan peralatan ICU (monitor pasien, rusak).

Keluhan lainnya, stok obat sangat dibatasi. Dan pengembalian obat yang tidak jadi dipakai oleh pasien tidak dapat diganti dengan uang secara langsung. Seragam tidak keluar sudah dua tahun, uang beras tahun 2009 rapelan tidak keluar.

Dari 10 keluhan tertulis atas kondisi RSUD yang disampaikan ke dewan kemarin, ada satu item yang menyoal direktur. Item itu menyebut keputusan direktur tidak pernah menampung aspirasi bawahan. Petikannya sebagai berikut "Memang sering melakukan rapat dengan alasan musyawarah untuk mencapai mufakat tetapi pada akhinya keputusan diambil sendiri oleh pimpinan dan tidak sesuai dengan hasil musyawarah".

Bagaimana tanggapan IDI terhadap masalah di RSUD? Dokter Djauhar mengaku sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi di rumah sakit. Katanya RSUD harus memiliki anggaran dasar hospital yang terkelola dengan baik. Bantuan APBN yang seharusnya diterima oleh rumah sakit tidak boleh dimasukkan dalam PAD.

Dia juga mendukung segera diberlakukannya RSUD sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Itu agar dokter bisa semakin profesional dan pasien terlayani dengan prima. "Kalau komite medik, RSUD dan pemkot bisa duduk bersama masalah ini bisa terselesaikan. DPRD semoga bisa membantu RSUD. Kalau tidak, akan tetap gali lubang tutup lubang," seru dokter spesialis kandungan itu.

Mendengarkan keterangan dari pihak RSUD dan IDI, Cak yon kemudian bertanya kepada direktur RSUD dr Budi. "Apa masih sanggup jadi direktur?" tanyanya.

"Saya itu orangnya pantang menyerah. Pasti jawaban saya sanggup, tetapi bukan untuk mempertahankan jabatan saya seumur hidup," jawab dr Budi.

Pengelolaan keuangan rumah sakit sebenarnya sudah tertera jelas di UU nomor 44 tahun 2003 tentang rumah sakit. Di pasal 51 disebutkan: pendapatan rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional rumah sakit dan tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau pemerintah daerah.

Kesimpulan dalam hearing tersebut, komisi C bersama RSUD, komite medik serta IDI bakal menggelar rapat internal membahas keluhan yang disampaikan kepada dewan. "Mengenai anggaran akan dipersiapkan pembahasan untuk RAPBD 2011 nanti," terang Cak Yon kepada Radar Bromo. (fa/yud)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=178682

Tidak ada komentar:

Posting Komentar