Selasa, 28 September 2010

LSM Lurug Dinas Pendidikan

[ Selasa, 28 September 2010 ]
Persoalkan Penahanan Ijazah oleh Sekolah

PROBOLINGGO - Sejumlah anggota LSM Gagak Hitam di Kota Probolinggo kemarin (27/9) melurug kantor Dinas Pendidikan setempat. Mereka menuntut penghapusan praktik penahanan ijazah murid yang belum bisa melunasi tanggungan keuangannya.

Sekitar pukul 10.00, sekitar 15 aktivis LSM tersebut datang di kantor Dinas Pendidikan di Jl Basuki Rahmad. Mereka tak hanya membawa data para murid yang ijazahnya masih tertahan. Tapi, mereka juga membawa serta seorang murid dan orang tua murid yang ijazah anaknya masih "disandera" sekolah.

Saat itu yang datang bersama para aktivis LSM adalah Agus Tofan, alumnus SMKN 2, dan Rajin salah seorang wali murid di SMKN 3. Mereka sengaja ikut para aktivis itu untuk mengadukan nasibnya ke Dinas Pendidikan.

Sedianya mereka berniat menemui Kepala Dinas Pendidikan Maksum Subani. Namun, saat itu Maksum sedang tidak berada di kantor. Mereka akhirnya hanya ditemui Kabid Sekolah Menengah Sukardi dan Kabid PLS (pendidikan luar sekolah) Pujiana.

Di hadapan mereka berdua, Komisi Advokasi LSM Gagak Hitam Muhammad Hadun membeberkan data yang dibawanya. Data itu berisi daftar nama-nama murid dari SMKN 3 yang ijazahnya masih ditahan. Jumlah 145 murid.

Dari data itu terlihat mereka adalah para murid yang lulus tahun pelajaran 1998/1999 sampai 2009/2010. Besarnya tunggakan mereka pun bervariasi, dari yang hanya Rp 86 ribu sampai Rp 3 juta. Bila ditotal, tunggakan dari 145 siswa itu ada sekitar Rp 86.138.600.

Menurut Hadun, apapun alasannya, menahan ijazah para murid itu sudah tidak benar. Pasalnya, mereka harus segera menggunakan ijzahnya untuk melanjutkan sekolah atau melamar kerja.

Tapi, lantaran ijazah itu masih ditahan sekolah maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa. "Mampu atau pun tidak mampu, menahan ijazah itu telah melanggar hak azasi manusia," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Hadun juga menyampaikan kalau pihaknya akan terus mengawal kasus tersebut sampai tuntutannya dikabulkan. Yakni, dengan tidak menahan ijazah para murid dengan asalan apapun.

"Kami beri waktu dua hari (bagu Dinas Pendidikan) untuk menyelesaikan kasus ini. Kalau tidak, kami akan turun lagi dan akan melaporkan kasus ini kepada polisi dan Komnas HAM. Karena hal ini sudah melanggar hak asasi manusia," ujarnya.

Dengan nada berapi-api, laki-laki yang juga berprofesi sebagai seorang pengacara itu menyatakan masalah tersebut bukan lagi soal duit. Tapi, telah bergeser pada masalah penahanan terhadap ratusan ijazah para murid. Sehingga, mereka terus menuntut untuk memberikan ijazah para murid tanpa menahannya dengan alasan duit. "Kalau masih ada penarikan duit, kami akan turun lagi," ujarnya.

Hadun pun berharap LSM dan Dinas Pendidikan bisa menjadi mitra untuk menghapus segala bentuk penyimpangan yang ada disekolah. Termasuk adanya kasus yang telah ditemukannya itu. "Harapan kami, kita dapat menjadi mitra supaya mereka yang ada disekolah (yang menahan ijazah) bisa dihukum. Mereka sudah lebih kejam dari teroris," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Agus Tofan juga diberi kesempatan untuk menyampaikan unek-uneknya. Alumnus SMKN 2 itu mengatakan, kalau sebenarnya ingin segera bekerja. Tapi, karena ijazahnya masih berada di sekolah ia tidak bisa mencari pekerjaan. "Saya malu ketika ditanya tetangga sudah bekerja di mana," ujarnya.

Menurutnya, sangat sulit bagi orang tuanya untuk menebus ijazahnya. Padahal, ia hanya punya tanggungan sekitar Rp 500 ribu kepada sekolah. Tapi, untuk mengumpulkan duit sebesar itu, rasanya sangat sulit. "Bapak saya hanya kerja sebagai kernet," ujarnya.

Menanggapi semua keluhan itu, Sukardi mengaku sangat berterima kasih. Menurutnya, itu adalah sebuah masukan yang harus ditampung dan segera dilakukan klarifikasi.

"Terima kasih atas laporannya. Semua ini, akan kami tampung. Kami akan mengeceknya terlebih dahulu," ujarnya. "Biasanya, ini dilakukan oleh sekolah swasta. Tapi, kenapa ini terjadi di sekolah negeri," lanjutnya.

Sukardi mengaku, Dinas Pendidikan sudah melakukan instruksi untuk tidak sampai menyandera ijazah. Bila itu terpaksa dilakukan maka harus diberikan foto kopiannya. "Biasanya sekolah akan memberikan foto kopiannya dan dilegalisir. Itu bisa digunakan untuk melanjutkan sekolah atau melamar kerja," jelas Sukardi.

Setelah sekitar satu jam berdialog, sekitar pukul 11.00 para aktivis LSM undur itu. Agus Tofan kepada Radar Bromo sempat mengaku belum pernah lagi ke sekolahnya untuk meminta foto kopian ijazahnya. "Malu mau ke sekolah, karena belum bayar," ujarnya. (rud/yud)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=181665

Tidak ada komentar:

Posting Komentar