Minggu, 22 Agustus 2010

Komisaris Sebut Surat Dibuat Dirut

[ Sabtu, 21 Agustus 2010 ]
KRAKSAAN - Kasus dugaan pembuatan surat palsu BPR Antar Parama Kraksaan berlanjut di luar sidang. Komisaris BPR, Edi Yuswono dan Direkturnya, Suwoko menolak dikatakan tak konsisten dalam memberikan keterangan di persidangan.

Ucapan itu sempat dilontarkan Ismail Modal, pengacara terdakwa Faustinus Budianto usai sidang kedua pada Rabu (18/8) di PN Kraksaan. Saat itu Ismail menegaskan, kliennya tidak melakukan pemalsuan tersebut. Sebab, kliennya tak tahu kalau ada surat yang dipalsu.

"Klien saya baru tahu ada surat yang dipalsu, ketika diperiksa di Polres. Jadi klien saya tidak tahu tentang surat itu sebelumnya. Siapa yang memalsu, wallahu a'lam" tutur Ismail.

Ismail mengatakan, justru saat sidang Edi tak berani memastikan siapa yang memalsukan surat itu. Sikap itu kata Ismail menguatkan bahwa Edi tak berani mengatakan Budianto sebagai pemalsu surat.

Bahkan ketika ditanyakan hakim, Edi menjawab tidak tahu. "Ini berarti saksi (Edi) tak konsisten dengan keterangannya sendiri sebelumnya. Padahal yang dilaporkan ke polisi adalah klien saya," jelasnya.

Intinya kata Ismail, keterangan Edi di persidangan kontras dengan keterangan di BAP. Misalnya tentang siapa pembuat surat palsu tersebut. Diduga Ismail, surat dibuat oleh Direktur BPR Suwoko. Bukan dibuat kliennya yang mantan direktur utama (dirut) BPR.

Edi saat dikonfirmasi menegaskan, dirinya memang tidak mengatakan bahwa terdakwa yang membuat surat itu. Namun jika mengacu pada tugas dan tanggung jawab, maka surat itu mestinya dibuat terdakwa yang saat itu masih bertugas sebagai dirut.

"Tidak mungkin direktur (Suwoko) melangkahi wewenang direktur utama. Jadi penanggung jawab setiap kebijakan yang diambil adalah direktur utama," terangnya.

Dikatakan Edi, setiap hal yang membutuhkan persetujuan komisaris harus melalui dirut. Bahkan yang berhak menghadap komisaris adalah dirut. Sekaligus kata Edi, dirut juga bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Termasuk perihal surat yang dipalsu itu. "Di sidang kedua, saya juga menjawab seperti itu," tegas Edi.

Selanjutnya kata Edi, setiap surat persetujuan untuk komisaris harus dibuat oleh dirut. Jadi kata Edi, keliru jika dikatakan bahwa pembuat surat adalah Direktur Suwoko. Apalagi jika hal itu harus mendapat persetujuan komisaris. "Ini aturan yang berlaku di BPR. Jadi yang saya sampaikan ini ada dasarnya," katanya.

Tugas komisaris sendiri dijelaskan Edi, salah satunya adalah mengawasi kinerja dirut. Sebab dirut adalah pimpinan tertinggi di BPR. Sementara direktur adalah pelaksana operasional. Namun jika ada kebijakan yang harus diketahui komisaris, dirut harus menghadap. "Kalau komisaris utama berhalangan, maka dirut bisa menghadap komisaris lain," jelas Edi.

Sementara itu Suwoko menyangkal telah membuat surat palsu itu. Bahkan Suwoko mengaku tidak tahu menahu tentang surat itu. Dirinya menurut Suwoko hanya menjalankan tugas operasional. Dan tidak mencakup pembuatan surat palsu itu. "Itu tidak benar. Saya tidak membuat surat itu," ujar Suwoko.

Pengacara terdakwa Ismail Modal sendiri menegaskan, apa yang dia sampaikan adalah hal yang terjadi di sidang. Jadi, pihaknya tidak mengambil asumsi dari hal lain. "Itu (yang disampaikan) yang terjadi selama sidang," ujarnya singkat.

Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Endang Surati saat dihubungi Radar Bromo memberikan penjelasan singkat. Menurut Endang, putusan majelis hakim sejauh ini belum ada masalah. Terkait masa tahanan Endang mengatakan, hal itu merupakan wewenang majelis hakim untuk menentukan. "Saya bertugas sesuai BAP kasus tersebut," katanya.

Lebih jauh kata Endang, pada sidang selanjutnya juga tidak ada masalah. Sebab kesaksian sudah disampaikan dua saksi, yakni Edi Yuswono dan Suwoko. "Sidang kedua kan sudah selesai. Jadi tinggal dilanjutkan dengan agenda sidang selanjutnya," pungkas Endang. (eem/hn)

Sumber: http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=showpage&rkat=4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar