Rabu, 07 Juli 2010

Kasus Paiton I Mandek Di Kejagung Atau PN Jaksel

Rabu, 07 Juli 2010, 00:00:39 WIB

Delapan tahun gugatan praperadilan kasus Paiton I dikabarkan sudah diproses di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, tapi ternyata berkas permohonan pengajuannya tak pernah ada.

Tentu hal ini sangat menge­jutkan, karena menurut Asosiasi Penasihat Hukum dan HAM Indo­nesia (APHI) yang meru­pa­kan sa­lah satu bagian dari Komite Ad­vokasi Melawan Penye­le­we­ngan dan Korupsi (KAMPAK), se­bagai penggugat dalam kasus itu, pihak Kejaksaan Agung (Ke­jagung) sebagai pihak tergugat menga­jukan banding ke PT DKI Jakarta.

Tidak adanya berkas pemo­honan pengajuan banding pra­per­adilan Kasus Paiton I ini disam­paikan Kepala Hubungan Masya­rakat PT DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

“Kami sudah cek dalam re­gister perkara banding, ternyata ti­dak ada perkara banding praper­adilan kasus korupsi Paiton I,” katanya.

Pihak Pengadilan Negeri Ja­karta Selatan (PN Jaksel) yang dihubungi soal pengajuan ban­ding praperadilan Kasus Paiton I belum bisa memberikan penje­lasan yang berarti. “Tanya sama Pak Bagus Dwi,” kata bekas Kepala Hubungan Masyarakat PN Selatan, Suharto.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejagung, Didiek Darmanto meminta waktu untuk mena­nyakan informasi terhadap pe­nga­juan banding praperadilan Kasus Pai­ton I. “Saya belum dapat infor­ma­sinya, masih me­nunggu jawaban. Kalau sudah dapat jawabannya pasti saya kasih tahu,” katanya.

Manajer Bidang Komunikasi PLN Pusat, Bambang Dwiyanto, menyerahkan sepenuhnya proses hu­kum kasus Paiton I kepada lem­baga penegak hukum yang berwe­nang menanganinya. “Itu sudah masuk ranah hukum jadi tidak pas bicara soal itu. Apalagi, saya juga tidak tahu secara per­sis,” katanya.

Menurut Bambang, bekas Di­rek­tur Utama PLN Zuhal dan bekas Dirut PLN Djiteng Mar­sudi sudah tidak bekerja lagi di lembaganya. “Mereka sudah pen­siun tahun 1992,” katanya.

Hal senada diungkapkan Di­rek­tur Operasional PLN bagian Ja­wa Bali, I G A Ngurah Adyana. Ala­san dia, saat kasus Paiton I ter­jadi, dia belum menjabat. “Waktu itu saya masih di Ambon, jadi saya tidak tahu. Coba tanya ke orang bagian hukum saja,” katanya.

Ketua Bidang Advokasi APHI, Lambok Gultom, mengaku heran mendengar berkas perkara ban­ding tidak ada di PT DKI Jakarta. “Yang harus ditanyakan dulu adalah pihak PN Jaksel, apakah berkas bandingnya sudah dise­rahkan ke PT DKI Jakarta atau belum,” katanya.

Diungkapkan, pihak kejaksaan pernah menyatakan akan banding terhadap putusan praperadilan Kasus Paiton I, hanya saja per­mohonan tersebut tidak sampai kepada pihaknya.

“Secara tertulis pernyataan tersebut tidak pernah sampai ke APHI, sehingga kami tidak mem­buat kontra memori banding atas kasus ini,” terangnya.

Menurut Lambok, bila benar permohonan banding praper­adilan Kasus Paiton I tidak per­nah ada di PT DKI Jakarta maka yang bisa menjelaskannya adalah pihak kejaksaan dan PN Jaksel.

“Permasalahannya sekarang ada di PN Jaksel dan kejaksaan, apakah memang sudah dilakukan banding atau memang berkasnya belum disampaikan,” tandasnya.

Lambok berharap kasus ini bisa secepatnya diselesaikan karena nilai kerugian dalam kasus ini sangat besar mencapai tri­liunan rupiah.

“SPDP-nya Belum Ada”
Johan Budi SP, Kahumas KPK

Meski Kasus Paiton I pernah dilaporkan masyarakat ke KPK, tapi lembaga superbody itu tidak berniat untuk melakukan super­visi seperti yang menjadi ke­wa­jibannya dalam Undang-Undang.

“Syarat untuk dilakukan su­pervisi kan harus ada SPDP (Su­rat Perintah dimulainya Pe­nyidikan)-nya. Setahu saya SPDP ka­sus ini belum ada di KPK,” ka­ta Kepala Hubungan Ma­sya­ra­kat KPK, Johan Budi SP, kemarin.

Pengamat hukum dari Uni­versitas Krisnadwipayana, Su­yanto Londrang mengatakan, gu­gatan praperadilan merupakan hak setiap individu untuk men­dapatkan jaminan pelayanan hu­kum, termasuk yang dilakukan APHI dalam kasus Paiton I. “Gugatan praperadilan itu perlu, sehingga proses hukumnya bisa berjalan,” tukasnya.

Dilaporkan Masyarakat Tahun 2004, Diduga Rugikan Negara Rp 7 Triliun

Kasus dugaan korupsi penga­daan listrik swasta Paiton 1 di Probolinggo bermula dari mark-up terhadap capital cost sebesar 48 persen dari seluruh nilai proyek yang sebesar Rp 7,015 triliun.

Sebenarnya, Paiton I telah diaudit BPKP dan due diligence SNC-Lavalin. Kedua lembaga tersebut jelas-jelas menyatakan ada mark up dan rekayasa besar-besaran pada sisi proses pe­nyiapan listrik swasta dan proses investasinya.

Dalam Laporannya, BPKP membedah secara gamblang proses Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang terjadi di sana, mulai dari perencanaan, proses men­dapatkan Surat Ijin Prinsip, pembiayaan, pelaksanaan, pro­duksi, distribusi, konsumsi, pem­bayaran dan berbagai previlege yang didapat dengan merugikan keuangan negara.

Padahal harga listrik swasta dunia pada, ada pada kisaran 4 sen dolar AS per kWh. Se­dang­kan dalam kontrak yang diper­baharui, PLN harus membayar harga sebesar 4,93 sen dolar AS per kWh. Namun dalam perhi­tungan yang ditemukan, harga sebenarnya dalam kontrak ter­sebut bisa mencapai 6,5 sen dolar AS per kWh.

Kasus ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam kasus tersebut bekas Direktur Utama PLN Zuhal dan bekas Dirut PLN Djiteng Marsudi sudah diperiksa.

Menurut hasil penyelidikan Kejagung, proyek Paiton I dinilai melanggar keputusan presiden mengenai prosedur pengadaan listrik di lingkungan departemen yang harus melalui prosedur lelang. Indikasi kolusi terlihat dalam proses negosiasi melalui bukti Surat Menteri Pertam­bangan dan Energi tertanggal 13 Februari 1993.

Dalam surat itu dinyatakan persetujuan, kesepakatan, dan nilai prematur yang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Ke­se­pakatan itu di antaranya me­nyangkut soal harga jual listrik. Sementara indikasi suap lainnya terlihat dari dana pengembangan sekitar 15 juta dolar AS oleh PT Batu Hitam Perkasa-pemilik 15 persen saham di Paiton I.

Kasus ini juga pernah dila­porkan ke KPK oleh Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) pada 7 September 2004.

Tidak hanya itu dinilai lelet menangani kasus korupsi PLTU Paiton I, Kejagung juga sempat dipraperadilankan Komite Ad­vokasi Melawan Penyelewengan dan Korupsi (KAMPAK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Se­latan (PN Jaksel) yang menilai Kejagung telah menghentikan penyidikan kasus korupsi proyek listrik Paiton I senilai Rp 7 triliun.

Putusan PN Jaksel meme­rintahkan Kejagung terus me­nyidik kasus korupsi dalam proyek listrik Paiton I. Peng­hentian penyidikan kasus itu dinilai tidak sesuai dengan un­dang-undang korupsi.

“Kasus itu ada indikasi ko­rupsi dan mark up. Pengadilan me­me­rintahkan Kejaksaan Agung tetap meneruskan penyidikan kasus ini,” kata hakim Tusani Selasa, di PN Jaksel, Jakarta, 3 September 2002.

Juru bicara Kejagung pada saat itu, Barman Zahir, me­nga­takan, demi kepentingan pe­nyi­dikan, kejaksaan sengaja tak menye­butkan nama saksi atau ter­sangka. “Sebetulnya sudah ada saksi yang diperiksa, tersang­kanya pun sudah ada,” ujarnya.

Setelah putusan praperdilan itu Kejagung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Ja­karta, dan sampai kini tidak jelas putusannya.

“Kita ajukan praperadilan ka­rena menurut kita pena­nga­nan­nya ber­larut-larut, lalu majelis hakim se­pa­kat dengan kita dan me­me­rin­tah­kan untuk meneruskan pe­nyi­dikannya. Saat itu jaksa meng­aju­kan banding, dan sampai se­karang kita belum tahu putusan­nya,” kata Ketua APHI, Hotma Timbul.

“Yang Salah, Cepat Umumkan Bersalah”
M Romahurmuzy, Anggota Komisi VII DPR

Aparat penegak hukum yang menangani Kasus Paiton I didesak secepatnya menje­las­kan perkembangan proses hu­kumnya, sebab saat ini ma­sih belum ada kepastian hukum.

“Kalau memang ada pihak yang bersalah dalam kasus ini, maka harus secepatnya di­umumkan bersalah. Jika tidak, maka harus dijelaskan kepada masyarakat. Yang penting semua harus dilakukan secara transparan,” kata Anggota Ko­misi VII DPR, M. Roma­hur­muzy kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, banyak pro­yek-proyek di PLN yang rawan terjadinya korupsi, akibat pengawasannya lemah, ma­ka­nya harus dimaksimalkan. De­ngan hal itu, PLN bisa lebih baik lagi yang tentunya pe­layanan kepada masyarakat bisa lebih ditingkatkan lagi.

Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil meminta kepada lembaga penegak hukum untuk secepatnya menuntaskan kasus korupsi pengadaan listrik swas­ta Paiton 1 di Probolinggo yang diduga merugikan ne­gara sebesar Rp 7,015 triliun.

“Kalau tidak ada per­kem­bangan, maka masyarakat bisa menduga-duga ada sesuatu didalamnya. Bahkan tidak mungkin ada pihak-pihak yang menginginkan kasus ini tidak diteruskan,” katanya.

Dengan terkatung-ka­tung­nya kasus ini, sambung politisi PKS ini, menunjukkan koor­di­nasi antar lembaga penegak hu­kum baik tidak berjalan de­ngan baik. “Seharusnya KPK punya ini­siatif untuk mela­kukan super­visi karena me­mang itu tugas dia. Kalau ti­dak ada sama saja lembaga penegak hukum terse­but mem­biarkan kasus ini terka­tung-katung,” tegasnya.
[RM]

Sumber: http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/07/07/97829/Kasus-Paiton-I-Mandek-Di-Kejagung-Atau-PN-Jaksel


Tidak ada komentar:

Posting Komentar