Minggu, 02 Mei 2010

Lukisan Bromo Digemari Ekspatriat Jepang

Sabtu, 1 Mei 2010 | 09:35 WIB
SP/Ikhsan Mahmudi TONO Gondrong menyelesaikan sapuan terakhir pada lukisan timbul Gunung Bromo.

Asal mau kreatif, bahan baku gipsum dan limbah kayu bisa disulap menjadi karya seni. Bahkan lukisan semi tiga dimensi dari gipsum karya Tono Gondrong digemari ekspatriat Jepang.

OLEH: IKHSAN MAHMUDI

SEBUAH rumah sederhana di Jl. Cempaka 3, Kota Probolinggo, ruang tamunya berubah fungsi menjadi bengkel kerja. Sejumlah lukisan pada kain kanvas terpancang di dinding, bersanding dengan lukisan timbul panorama Gunung Bromo yang tampak mencorong.

Di kursi tamu tergeletak sejumlah kaligrafi lafal Allah dan Muhammad dengan huruf Arab, juga tampak timbul dan mencorong. Sejumlah miniatur perahu dari limbah kayu juga tertata di rak dekat jendela.

Bahan gipsum, cat, kuas, potongan kayu, spons, kertas cetakan, solder listrik, dan gergaji tampak tergeletak di karpet di ruang tamu. Selasa (27/4) sore itu, tuan rumah Tono Gondrong (37) didampingi istrinya, Siti Zuroidah (35) sibuk menuang cairan gipsum pada cetakan spons.

”Lagi mencetak kaligrafi dari bahan gipsum, juga menyelesaikan lukisan semi tiga dimensi Gunung Bromo,” ujar Tono Gondrong. Pria berambut gondrong itu dengan cekatan menuang cairan gipsum. Sambil menunggu gipsum mengering dalam waktu sekitar setengah jam, ia memoles lukisan timbul Gunung Bromo dengan kuas.

Pria yang juga penggemar Vespa antik itu mengaku bangga lukisan Gunung Bromo banyak digemari ekspatriat Jepang. Sejumlah pekerja asing asal Negeri Sakura itu biasa memborong lukisan timbul dari gipsum itu untuk oleh-oleh saat pulang ke Jepang.

”Mereka menggemari lukisan Gunung Bromo, mungkin dianggap punya nilai spiritual seperti Gunung Fuji di Jepang,” ujar Tono Gondrong. Lukisan timbul berwarna keemasan berukuran sekitar 100 x 75 cm itu dibanderol dengan harga Rp 700 ribu.

Sementara itu kaligrafi lafal Allah atau Muhammad dipatok dengan harga Rp 200 ribu. ”Yang murah kap lampu Rp 15 ribu,” ujar Siti Zuroidah.

Untuk membuat lukisan timbul dari bahan gipsum, kata Tono Gondrong, mirip membuat lukisan pada umumnya. Gipsum cair ditempelkan pada media kayu lapis. Setelah kering, lukisan timbul itu diberi saputan cat.

Kayu Limbah

Sebagian bahan baku karya Tono Gondrong berasal dari limbah kayu. ”Kami memanfaatkan limbah kayu dari PT KTI (Kutai Timber Indonesia),” ujarnya.

Sebenarnya, Tono Gondrong awalnya bekerja di PT KTI, perusahaan pengolahan kayu lapis di kawasan pelabuhan Tanjung Tembaga, Kota Probolinggo. Pada 1997 silam, ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ia sempat lontang-lantung dan bekerja serabutan usai di-PHK. Pada 2006 lalu, ia kemudian merintis usaha kerajinan berbahan baku limbah kayu. ”Usaha kami baru terlihat berkembang pada awal 2009 lalu,” ujarnya.

Tono Gondrong dan istrinya sempat memendam kekecewaan terhadap Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan (Koperindag) Kota Probolinggo. ”Kami dijanjikan bantuan Rp 15 juta, ternyata tidak kunjung dicairkan,” ujarnya.

Akhirnya dengan modal seadanya, Tono Gondrong dan istrinya bersama Yayasan Bina Citra Nusantara berusaha terus berkarya. ”Memang karya kami kebanyakan masih berdasarkan pesanan, baik pasar lokal maupun pesanan orang-orang Jepang,” ujarnya.

Disinggung apakah ada keinginan mengekspor karya seninya, Tono Gondrong mengatakan, untuk sementara dirinya tidak akan berandai-andai. ”Masih bisa berkarya, alhamdulillah. Soal ekspor belum terpikir,” ujarnya.

Yang jelas tanpa melalui ekspor, karya Tono Gondrong banyak yang ”terbang” ke Jepang karena dijadikan oleh-oleh ekspatriat yang bekerja di Indonesia. n

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=506e2c43012e72e3e3c581ace7a29e0e&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc&PHPSESSID=eadccc76522cf20d1e2628c7e0e88a4e

Tidak ada komentar:

Posting Komentar