Minggu, 02 Mei 2010

Dicekam Ujian Nasional

Dibayangi kegagalan, para siswa sampai berdoa ke makam. Mengapa ujian nasional menakutkan?
Jum'at, 30 April 2010, 21:56 WIB
Elin Yunita Kristanti, Lutfi Dwi Puji Astuti, Nur Farida Ahniar, Desy Afrianti
Ujian Nasional (Antara/Hasan Sakri Ghozali)

VIVAnews – GUSTI Ayu Riska Lestari duduk bersandar di kursi. Dara enam belas tahun itu mengeluh pusing. Mulutnya masih bau sisa racun serangga. Mukanya pucat. Dengan wajah muram, dia bercerita tentang prahara pada Senin 26 April 2010: tatkala dia gagal Ujian Nasional.

Pagi itu, siswa SMU PGRI I Maros, Sulawesi Selatan ini galau menanti hasil ujian. Dia teringat kata-kata ayahnya: jangan sampai tak lulus. Hasil ujian itu kini terbentang di depan mata. Pada bidang studi matematika Riska dapat angka 3. Lalu ada tulisan ‘UL’ alias ulang. Sekejap, dunia Riska pun seperti runtuh.

Dia berlari pulang. Perasaannya tak menentu, kecewa campur takut. Dia mampir ke warung depan rumah, membeli obat anti serangga seharga Rp 16.000. Pikirannya kacau. Lalu diteguknya cairan maut itu. “Saya tidak bisa menerima kenyataan tidak lulus. Saya stres dan putus asa,” kata Ika kepada VIVAnews, Kamis 29 April 2010.

Tak lama, Riska pun roboh. “Tiba-tiba kepala saya langsung pusing, dan terasa panas,” ujarnya. Ketika sadar, dia berada di Rumah Sakit Salewangan, Maros. Untung, nyawanya terselamatkan.

Dia sangat menyesal telah berbuat bodoh seperti itu. “Saat itu saya kalap dan nggak tahu harus berbuat apa,” kata dia. Dengan senyum lemah, Riska mengaku masih punya harapan, yakni bisa lulus dalam ujian ulangan pada 11-14 Mei 2010 nanti.

Kalap, takut, dan galau itu ternyata menyebar. Di Wonogiri, Jawa Tengah, Virginia Indah Hargarini, siswi SMU Pancasila di kabupetan itu turut gelap mata. Setelah paman sekaligus gurunya, Tukijo mengabarkan kabar buruk dia gagal ujian nasional, Indah menyambar kaleng semprot di dekatnya, dan menenggak isinya.

Untung, dia juga selamat setelah dilarikan ke Rumah Sakit Marga Husada. Rupanya kaleng semprot itu berisi cairan pengharum ruangan.

Tapi di Jambi, ada tragedi lain. Wahyuningsih, 19 tahun, kaget ketika membuka amplop pengumuman pada Senin 26 April 2010. Siswi SMKN 3 Muaro Jambi itu tak lulus. Padahal untuk pelajaran Bahasa Indonesia, dia paling tinggi di sekolahnya. Tapi nilai matematikanya hancur, 3,8, kurang 0,2 poin dari batas lulus.

Dia sebelumnya adalah juara kelas. Tapi kini, dia satu-satunya murid yang tak lulus. Hartinya hancur. Ningsih histeris, tubuhnya berguncang dan jatuh. Dalam kondisi galau, Ningsih diantar pulang. Lalu, entah bagaimana, dia ditemukan tergeletak dengan mulut berbusa. Sisa-sisa fungisida ada di dekatnya.

Meski sempat dilarikan ke rumah sakit, nyawa Ningsih tak selamat. Dia tewas.

Ujian nasional telah memakan korban.

***

TAMPAK seperti “hari hidup atau mati”, ujian nasional telah membuat para siswa dicekam kecemasan, kalap dan takut. Pelbagai upaya dilakukan agar bisa lulus. Selain belajar keras, ada pula rupa-rupa ritual. Sekolah juga terus memompa motivasi pada murid. Bahkan ada acara doa bersama dengan pemuka agama, dan sarat adegan isak tangis.

Di Surakarta dan Medan, misalnya, murid-murid didorong meminta maaf pada orang tua. Para siswa sungkem -- bersimpuh pada orang tua memohon restu. Tangis pun pecah dari ayah dan ibu, seakan mengantar anak ke medan perang.

Kegiatan spiritual juga dilakukan, seperti istighosah, dan berdoa di makam tokoh ternama. Ada yang berziarah ke Makam Sunan Kudus. Bahkan, makam mantan presiden, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ramai dikunjungi pelajar jelang ujian nasional.

Ada juga yang percaya hal-hal klenik. Di Probolinggo, Jawa Timur, pelajar membawa pensilnya ke pengasuh pesantren. Bukan untuk diraut agar lebih tajam. Tapi diberi “isi” dengan doa agar lulus, dan mulus mengerjakan soal ujian. 'Air sakti' dengan rapalan doa dari dukun juga laris manis.

Di tengah kekalapan siswa, ada pula dukun yang cari kesempatan. Lara, sebut saja namanya begitu. Siswi salah satu SMK di Doko, Ngasem, Kediri itu gamang menghadapi ujian. Lalu dia pergi mencari “kekuatan” ke dukun. Sial, bukannya jadi percaya diri, Lara malah jadi korban dukun cabul.

Apa sebenarnya yang membuat lulus UN jadi hal yang sangat penting? Anggota DPD RI dari DKI Jakarta, Dani Anwar mengatakan, ujian nasional menjadi beban, tak hanya bagi siswa, tapi juga bagi orang tua dan guru. Sebab, ini adalah penentu keberhasilan siswa selama belajar tiga tahun di sekolah. Nama baik sekolah dan orang tua ikut dipertaruhkan.

Bagaimanapun, siswa adalah pihak paling tertekan. "Kalau dibayangi UN seperti penentu hidup dan mati siswa begitu, justru membuat stres dia.” Dani iba dengan siswa yang harus menghadapi tekanan luar biasa. "Dalam usia dini seperti itu, mereka sudah dalam suasana underpressure luar biasa,” ujar dia. Padahal, “pendidikan mestinya dibuat untuk bagaimana siswa menjadi enjoy”.

Soal ketidaklulusan, pakar pendidikan, Arif Rachman berpendapat, ada banyak hal yang menyebabkan itu. Boleh jadi, kata Arif, murid tidak siap menghadapi UN. Akibatnya dari segi psikologis mereka gugup. Atau ini memang soal kecerdasan, dan kepandaian siswa. “Masalah sulitnya soal juga bisa menjadi penghambat,” ujarnya menambahkan. Memang, banyak pengakuan dari para siswa soal yang diujikan lebih sulit dibanding sebelumnya. Jadwal ujiannya yang dimajukan, bisa juga salah satu faktor.

Bagi Arif Rachman, para siswa sebetulnya tak perlu terlalu gugup. “Saat ini, jika tidak lulus UN kan bisa mengulang. Kalau tidak lulus tinggal ngulang saja 1 tahun. Jadi siswa masih punya kesempatan kok,” turut Arif.

***

UJIAN Nasional juga membuat pemerintah daerah was-was. Soalnya cukup terang, jika peringkat kelulusan siswa di satu daerah jeblok, maka pemerintah setempat akan menjadi sorotan. Ini bukan hanya ujian bagi siswa, tapi juga gengsi daerah.

Yogyakarta, misalnya. Hasil Ujian Nasional tahun ini adalah tamparan bagi ‘kota pelajar’ itu. Sebanyak 9.237 peserta ujian nasional di Yogyakarta tak lulus. Dari sekian ratus sekolahan tingkat atas, hanya empat sekolah siswanya lulus 100 persen. Hasil terburuk sepajang sejarah ujian nasional.

Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X pun dibuat pusing. Raja Yogyakarta itu sampai menggelar rapat khusus, dan meminta Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Yogyakarta sesegera mungkin melakukan evaluasi. "Yang jelas saya kecewa dengan hasil UN yang tidak menggembirakan. Tapi ya mau bagaimana lagi,” kata Sultan.

Meski anjlok, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY, Suwarsih Madya punya pembelaan. “Ujian Nasional di Yogyakarta paling jujur. Ini bukan kita yang menilai, tapi dari Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSPN). Tidak ada rekayasa sama sekali,” kata dia.

Sementara, Baskoro Aji, Ketua Pelaksana UN Yogyakarta, menuturkan hasil evaluasi penyebab utama gagalnya siswa dalam ujian pekan lalu itu. Rupanya banyak siswa hanya belajar penuh untuk segelintir mata pelajaran. Akibatnya, pelajaran lain kurang mendapat perhatian.

Faktor lain, ujian nasional kali ini memberikan kesempatan ujian ulangan. Akibatnya siswa tidak serius dalam belajar. Toh, bisa mengulang, tak seperti tahun sebelumnya. Juga masih ada pro kontra hasil UN yang tak lagi menentukan kelulusan siswa, sesuai keputusan Mahkamah Agung.

Tak hanya Sultan yang kecewa. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto malu dengan tingkat kelulusan siswa peserta UN di Jakarta. “Jika UN pertandingan, saya merasa malu,” kata Prijanto. Dia menyesalkan kelulusan di Jakarta lebih rendah ketimbang provinsi lain, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.

Kelulusan SMA di Jakarta tahun ini, menurut data Dinas Pendidikan DKI, hanya 90,672 persen. Sedangkan tingkat SMK mencapai 92,18 persen. Tahun lalu, kelulusan SMA di DKI mencapai 95,5 persen untuk SMA, dan 97,65 persen SMK. Mengingat masih ada peluang mengulang, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto mengatakan angka kelulusan ini belum final.

Taufik mengaku pihaknya sudah melakukan persiapan maksimal menghadapi Ujian Nasional. Tapi mengapa banyak yang tak lulus? Menurut Taufik bisa saja pada saat ujian, siswa dalam kondisi tidak fit, baik fisik maupun mental, di satu mata pelajaran. “Walaupun pada mata pelajaran lain nilainya bagus, akhirnya dia harus mengulang di hanya mata pelajaran itu saja,” jawab dia.

***

MULAI diberlakukan sejak 2003, Ujian Akhir Nasional (UAN) diterapkan untuk mengganti EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pada 2005, nama itu berubah lagi menjadi Ujian Nasional (UN).

Apapun namanya, UAN atau UN, siswa harus memenuhi nilai minimal semua mata pelajaran. Satu saja gagal, artinya tak lulus.

Sejak diselenggarakan tujuh tahun lalu, ujian nasional menuai kontroversi sampai gugatan ke meja hijau. Hasilnya, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua BSNP terkait perkara ujian nasional pada 14 September 2009.

Keputusan Mahkamah Agung juga cukup menyentil pemerintah. Dikatakan, pemerintah telah lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi khususnya di daerah pedesaan. Pemerintah juga abai akan implikasi ujian nasional. Soalnya, banyak kecurangan, baik oleh guru maupun siswa agar lulus ujian nasional.

Tapi putusan lembaga peradilan tertinggi itu tak membuat pemerintah kapok. Ujian nasional kembali digelar pada 2010. Hasilnya terlihat jelas: sekitar 154.079 siswa di sekujur negeri tak lulus. Atau, sekitar 10 persen dari seluruh peserta ujian, yaitu 1.522.162 siswa.

Gagalkah Ujian Nasional? Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh membantah. Kata dia, ujian nasional ibarat laboratorium kesehatan. "Kalau dari cek laboratorium itu ada tekanan darah tidak normal, maka jangan laboratoriumnya dikorbankan," kata dia, Selasa 27 April 2010.

Ujian Nasional, kata Menteri M Nuh, juga laiknya mengecek kolestrol. "UN itu ibaratnya sama dengan mengecek kolesterol. Jadi pentingnya UN untuk melakukan pengecekan. Kalau tidak ada UN, kita tidak tahu [kemampuan siswa] dengan standar yang sama.”

M Nuh meminta agar murid-murid tak cemas. Masih ada kesempatan kedua pada 10 -14 Mei mendatang. Dia yakin ada kemungkinan angka kelulusan bertambah. Pengalaman gagal dalam UN, kata Menteri Nuh, akan menjadi dorongan luar biasa bagi siswa mengikuti UN ulangan. "Jangan terjebak, ada 1-2 murid yang stres, lalu UN dibubarkan," kata M Nuh.

Laporan Rahmat Zeena (Makassar), Edy Gustan( Mataram), KDW (Yogyakarta), dan Fajar Sodiq (Solo).

Sumber: http://sorot.vivanews.com/news/read/147975-dicekam_ujian_nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar