Sabtu, 04 September 2010

Kaul Penyatu Masyarakat Tengger

Upacara Kasada
Sabtu, 4 September 2010 - 15:25 wib
Setiap purnama pada bulan Kasada, masyarakat Tengger menggelar ritual Yadnya Kasada di kawasan Gunung Bromo. (Foto: google)

SETIAP purnama pada bulan Kasada, masyarakat Tengger menggelar ritual Yadnya Kasada di kawasan Gunung Bromo. Inilah perwujudan rasa syukur dan terima kasih terhadap leluhur dan Sang Pencipta.

Kawasan Gunung Bromo di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur menjadi lautan manusia, Kamis (26/8) dini hari. Ibarat lebaran, ribuan masyarakat suku Tengger yang tersebar di Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, hingga Malang berdatangan dan berkumpul untuk menyaksikan Yadnya Kasada.

Ritual upacara Kasada atau Kasodo ini digelar setiap tahun pada malam ke-14 atau 15 bulan Kasada. Suku Tengger yang merupakan masyarakat asli penghuni kawasan Gunung Bromo menjadi pelakon utama ritual ini, terutama yang beragama Hindu. Tahun ini penyelenggaraan upacara Kasada agak istimewa karena mendapat kunjungan langsung dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik.

Menteri asal Bali ini pun menyempatkan diri mengikuti seluruh rangkaian Yadnya Kasada. Acara diawali dengan malam resepsi Yadnya Kasada pada Rabu (25/8) malam. Bertempat di pendapa Desa Ngadisari, Menbudpar bersama enam pejabat negara lainnya dikukuhkan sebagai sesepuh Tengger. Menurut Kepala Desa Ngadisari, pengukuhan tersebut merupakan aktualisasi rasa hormat rakyat terhadap para pejabat negeri sesuai tuntunan orangtua dan sesepuh masyarakat Tengger.

“Pelajaran pertama saya setelah dilantik sebagai sesepuh Tengger adalah mengucapkan salam ala masyarakat Tengger: hong ulun basuki langgeng,” ujar Wacik.

Ratusan warga Tengger, tua dan muda, turut menyaksikan malam resepsi Yadnya Kasada yang digelar sampai tengah malam itu. Mereka mudah dikenali melalui tampilan khasnya, yaitu mengenakan sarung yang difungsikan sebagai jaket pengusir hawa dingin. Menjelang pukul 00.00 WIB, masyarakat antusias menyaksikan sendratari Rara Anteng dan Jaka Seger.

Nama pasangan tokoh yang hidup pada zaman Majapahit itu sangat lekat di hati orang Tengger. Konon, nama Tengger juga berasal dari akhir suku kata nama Roro Anteng dan Jaka Seger. Begitu pun asal mula upacara Kasada, didasarkan pada kisah dua sejoli ini.

Alkisah setelah menikah, pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger mendiami dan menjadi penguasa kawasan Tengger. Pasangan ini dikenal sebagai penguasa yang budiman, rakyatnya pun hidup makmur dan damai. Akan tetapi, sang penguasa merasa kebahagiaannya kurang lengkap karena tak kunjung dikaruniai keturunan.

Jaka Seger pun lantas bersemedi di puncak Gunung Bromo dan berdoa kepada Yang Mahakuasa agar diberi keturunan.Tibatiba terdengar suara gaib yang mengatakan bahwa harapannya akan terkabul, dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Dia pun menyanggupinya hingga kemudian lahirlah satu per satu bayi dari rahim Rara Anteng hingga 25 orang putra-putri.

Namun, setiap kali tiba masanya berkurban, pasangan ini terus menunda. Dewa pun murka dan mengancam akan menimpakan malapetaka. Prahara pun datang saat si bungsu Raden Kesuma bermain bersama saudaranya. Kawah Gunung Bromo menyemburkan api yang lantas menjilat Kesuma dan membawa jasadnya masuk kawah Bromo. Bersamaan hilangnya Kesuma, terdengarlah suara gaib Kesuma yang mengatakan dirinya ikhlas dijadikan korban. Namun, Kesuma meminta para saudaranya hidup damai dan tenteram, serta mengingatkan untuk mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Widi setiap bulan Kasada pada hari ke-14 di kawah Gunung Bromo.

Berpijak dari legenda ini, masyarakat Tengger secara turun-temurun melestarikan upacara Kasada yang prosesinya dilangsungkan di Poten (semacam pura) di lautan pasir kawasan kaki gunung Bromo dan kawah Bromo. Tepat pukul 00.00 WIB, masyarakat mulai berkumpul di Poten untuk menyaksikan pelantikan dukun dan pemberkatan umat. Dukun, dalam hal ini merujuk pada pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara ritual.

Menjelang fajar pukul 04.00 WIB, masyarakat Tengger bersiap mengangkut ongkek (wadah) berisi sesajen yang akan dilarung ke kawah Bromo. Sesajen ini awalnya hanya berupa hasil pertanian seperti pisang, labu, cabai, jagung, dan buah. Namun, kini tak jarang yang menyertakan kerupuk, keripik hingga snack kesukaan anak-anak yang biasa dijual di warung.

“Saya setiap tahun ikut melarung sesajen. Umumnya berupa hasil bumi, tapi boleh juga makanan yang kita perdagangkan sehari-hari,” ungkap Salim, salah seorang suku Tengger.

Tepat pukul 05.00 WIB, para pembawa ongkek mulai menaiki ratusan tangga menuju puncak Bromo. Di sana, ratusan warga sudah menunggu pelemparan aneka sesajen ke kawah Bromo sebagai simbol pengorbanan oleh nenek moyang mereka. Sesajen yang dilempar bermacam-macam, seperti sayuran, buah, uang, ayam, hingga kerbau.

Lucunya, di bibir kawah terdapat sejumlah pengemis yang membentangkan kain; dan dengan menggunakan kantong jaring, mereka berusaha menangkap sesajen yang dilempar warga. Di sisi lain, sejumlah warga Tengger berusaha memperebutkan sesajen yang diletakkan di muka tangga. Selepas itu, sampah bekas sesajen pun berserakan di mana-mana.

Sementara itu, Menbudpar Jero Wacik yang ikut melarung ongkek terbesar berisi aneka sesajen mengajak masyarakat untuk terus melestarikan tradisi yang telah mengakar dalam jiwa orang Tengger itu. Selain itu, bersama pemerintah daerah setempat, pihaknya akan mengupayakan penambahan fasilitas berupa teropong di beberapa titik di kawasan Gunung Bromo. Tujuannya agar pengunjung bisa melihat keindahan panorama gunung Bromo dari segala penjuru, terutama momen matahari terbitnya yang tak terlupakan.(sindo//ftr)

Sumber: http://lifestyle.okezone.com/konsultasi/read/2010/09/04/25/370121/kaul-penyatu-masyarakat-tengger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar