Sabtu, 24 Juli 2010

Kisah Keluarga Rudi Rahardja setelah Rumahnya Dikosongkan

[ Sabtu, 24 Juli 2010 ]
Tinggal di Trotoar, Mandinya di Alun-Alun

Sejak hari Sabtu (17/7) lalu, Rudi Rahardja dan keluarganya sudah tak punya tempat untuk berteduh. Ia dipaksa keluar dari rumah di sudut perempatan Jl Dr Saleh Kota Probolinggo, rumah yang bertahun-tahun ditempatinya. Kini, trotoar jadi tempat tinggalnya.

FAMY DECTA MAULIDA, Probolinggo

BILA anda melintasi Jl Dr Saleh Kota Probolinggo, di perempatan sebelum gedung Pengadilan Negeri (PN) tersaji pemandangan yang menyayat. Di trotoar sisi timur terlihat banyak barang rumah tangga yang tertata tak rapi. Ada dipan usang, meja ruang tamu, lemari pakaian, kursi dan beberapa karung ukuran besar berisi pakaian.

Di balik lemari pakaian itu terdapat ruang sempit beralas baliho yang dipakai untuk tidur. Dari jalan raya terlihat dua buah pigora foto yang sengaja dipasang. Foto lelaki paling atas tertulis nama R.M Assan. Di bawahnya ada foto perempuan bernama R.R Lieke Asmanikam.

Foto itu sangat lawas, tapi masih tersimpan rapi. Di balik lemari itu Radar Bromo berjumpa dengan seorang pria. Wajahnya tidak asing. Ia kerap mengikuti kegiatan sebuah partai politik dan bersepeda. Namanya Rudi Rahardja.

Kamis (22/7) siang itu Rudi sedang membaca sebuah surat. "Eh.. mari, silakan. Ini sedang membaca surat pengaduan yang saya kirim ke wali kota," tutur Rudi sambil kebingungan menerima Radar Bromo. Ia sudah tidak punya tempat tamu. Perbincangan mengalir di pinggir jalan, tempat Rudi bermalam.

Bila dihitung hari ini tepat sepekan lamanya Rudi beserta istri dan anaknya tak punya tempat tinggal. Selama seminggu ini pria kelahiran 18 September 1959 itu tidur di trotoar jalan. Di atas baliho yang sengaja dipakai untuk alas. Tujuh hari juga Rudi tidur terpisah dengan istri dan kedua anaknya.

"Kalau mandi saya ke alun-alun. Itu pun satu hari sekali," ujar suami dari Ayu Juleha ini. Bagaimana dengan keluarganya? Setiap malam Rudi yang selalu tidur di pinggir jalan sembari menjaga sisa barang yang dimilikinya. Sedangkan Ayu dan kedua anaknya, ditambah anak asuh mereka harus tidur pindah-pindah. Terpaksa menumpang ke sana ke mari.

Pasangan Rudi-Ayu memiliki dua anak, Riza Megasari, 17 dan Andrean Supriyanto, 3. Pasangan yang menikah tahun 1992 lalu itu juga punya anak asuh, anak dari kakak ipar Rudi, yaitu Salim dan Yatim Fadilah.

Semenjak tak punya tempat tinggal lagi, istri dan anak Rudi terpaksa menumpang ke orang tua Ayu di Desa Pohsangit Lor, Kecamatan Wonomerto, Kabupaten Probolinggo. Lain itu, mereka menginap di rumah saudara mereka di daerah Mayangan

Tak lama berselang setelah perbincangan siang itu, Ayu datang bersama Riza. Mereka menceritakan nasib yang dialami kini. Rudi bertutur, ia sudah tinggal di rumah itu sejak lahir.

Menurut Rudi, rumah itu adalah rumah kakeknya bernama lengkap R.M Assan Suryo Sentono. Assan tinggal di rumah peninggalan zaman Belanda sejak tahun 1937. Assan memiliki anak bernama Lieke Asmanikam Assan. Rudi adalah anak tunggal Lieke.

Rumah di atas tanah seluas lebih dari 4000 m2 yang ditinggali Rudi dan nenek moyangnya berada di Jl Dr Saleh nomor 13 dan 15. Menurutnya, tanah itu dimiliki oleh tiga orang. Separo milik Frits Willem Croes, seperempat punya Yayasan Sanatorium To Batu, dan seperempat milik Goendi Suwarno.

Assan menguasai setengah dan semperpat bagian tanah di Jl Dr Saleh nomor 15. Sisanya bagian Goendi Suwarno di Jl Dr Saleh nomor 13. Pada 1937 kakeknya masih berstatus Direktur Pekerjaan Umum Probolinggo dan menguasai tanah tersebut hingga Indonesia merdeka. "Kakek membayar pajak persil ke kantor Versluist Belanda di Surabaya," kata Rudi.

Pada 1953 Assan meninggal dunia. Urusan rumah diserahkan ke Loekiatin, istri Assan dan putra-putrinya, termasuk Lieke. Lieke kemudian menikah dengan Kapten CPM Abdul Kadir Tuakia. Pasangan ini lalu punya anak, Rudi Rahardja.

Rumah tangga Lieke dengan Abdul Kadir Tuakia tidak bertahan lama. Pasangan itu bercerai. Rudi tetap ikut ibunya. Rumah tinggal yang ditempati keluarganya berubah jadi rumah kos. Lieke menikah lagi dengan seorang penghuni kos, Y.H.K Soedjak asal Bojonegoro. Dari pernikahan keduanya Lieke tidak memiliki keturunan.

Loekiatin pindah ke Malang. Tanah dan rumah diurusi oleh Lieke. Seluruh saudara Lieke pindah keluar kota. Pembayaran sewa tanah dan rumah dilanjutkan ke Versluit Belanda oleh Lieke. Tahun 1990 Lieke meninggal dunia. Rumah dan tanah diurusi oleh Soedjak.

"Supaya rumah dan tanah menjadi hak milik, tapi bapak tidak ada dana untuk mengurus surat. Akhirnya nemu penyandang dana namanya Nyonya Evelin di Jl Suroyo. Katanya sudah ada kesepakatan dengan bapak tiri saya. Kalau berkas sudah berangkat ke Jakarta, Evelin mengganti Rp 70 juta," ceritanya.

Tapi, sebelum urusan sertifikat itu selesai Soedjak meninggal dunia pada 1990. Setelah Soedjak meninggal, Rudi menikah dengan Ayu. Giliran Rudi yang mengurus rumah kos dan tanahnya dengan memiliki SIP (surat izin penempatan).

Sejak saat itu Rudi tidak bisa hidup dengan tenang. Persengketaan kepemilikan tanah dan rumah terjadi sejak tahun 1992 sampai tahun 2003. Ahli waris Goendi Suwarno, Soetoyo menjual seperempat tanah rumah kepada Hartoyo, keluarga Akas.

Masalah itu pun sampai di persidangan. Evelin meminta haknya dengan melakukan eksekusi dan menyatakan rumah di Jl Dr Saleh 15 adalah miliknya. Di sisi lain Rudi juga bermasalah dengan Hartoyo, karena tanah tersebut diklaim milik Hartoyo.

Pada 4 Juni 2003 dilakukan eksekusi oleh PN dengan penggugat Evelin. Eksekusi itu gagal dilaksanakan karena Rudi menolak. Saat itu tidak dihadirkan petugas dari Badan Pertanahan Negara. Pada 12 Juni 2003 akhirnya dilakukan eksekusi paksa dengan batasan luas yang tidak jelas.

"Batasnya itu kabur sampai sekarang. Hanya dibatasi sesek bambu saja. Akhirnya ya saya menempati sisa tanah yang ada. Banyak yang bilang kalau saya ini manggoni tanah Akas, ya saya cuek saja. Ini tanah mbah saya kok diakui orang lain," kata Rudi yang nampak lusuh.

Ketenangan Rudi mulai terusik lagi sejak awal bulan Juni lalu. Ada orang dari pihak Hartoyo yang mendatanginya dan bertanya bagaimana ia bisa tinggal di tanah tersebut. Pihak Hartoyo juga menunjukkan sertifikat kepemilikan tanah yang dibikin tahun 2000.

"Saya merasa janggal. Eksekusinya dilaksanakan tahun 2003. Kok mereka bisa punya sertifikat tahun 2000? Mereka bilang kalau saya harus mengosongkan tanah dan tidak ada ganti rugi. Saya ini merasa menjadi pesakitan," keluhnya.

Di tanah itu Rudi mencari nafkah dengan membuka warung dan berjualan bensin eceran. Usahanya tersebut buyar ketika pihak pemilik sertifikat mendatangi rumahnya dan mengosongkan rumah tanah itu.

Pada 17 Juli 2010, Rudi didepak dari tempat tinggalnya. Rudi sempat meminta ada perbincangan dengan pihak Hartoyo, tapi tidak diberi kesempatan. Yang datang hanya orang suruhan mereka berinisial AM. "Saya dan keluarga bingung mau tinggal di mana. Waktu keluar rumah kami hanya punya uang Rp 1.500," kenang Rudi.

Peristiwa pengosongan tanah itu masih melekat di benak Rudi dan Ayu. Beruntung saat pengosongan kedua anaknya tidak ada di rumah. Riza masih sekolah di SMK Negeri 1. Sedangkan anak lelakinya sengaja dibawa keluar rumah.

"Kami dalam posisi begini, mbok ngertio... Nasib saya ke depan bagaimana juga tidak tahu. Kami ini punya banyak utang gara-gara peperangan (sengketa di pengadilan) dengan mereka-mereka," imbuh Ayu.

Berhari-hari tidur beratapkan langit membuat Rudi kepikiran tentang nasib keluarganya. Ia masih bisa tidur di jalanan. Tetapi tidak dengan istri, anak kandung dan anak asuhnya. Mereka sengaja meletakkan lemari pakaian untuk dang-dangan (pembatas) supaya saat tidur tidak kelihatan orang yang lewat.

Seperti siang itu, Riza dan Yatim sedang tidur-tiduran di tikar baliho. Ayu duduk di sebelahnya dan Rudi duduk di kursi. "Si kecil itu kalau saya ajak kesini selalu bilang rumahnya belum ditata. Saya kan bilang kalau rumahnya ini kena angin. Dia tidak tahu kalau sudah tidak punya rumah lagi," ucap Ayu dengan mata berkaca-kaca.

"Bagaimana dengan anak-anak saya nanti, ketika kami berdua tidak ada. Kami masih belum tahu akan ke mana," sahut Rudi. "Ini masih menenangkan pikiran untuk mencari jalan," imbuh Ayu yang sempat meneteskan air mata lalu buru-buru dihapus dengan tangannya.

Rudi dan keluarga berharap masih mendapat kesempatan untuk berbicara dengan pihak yang mengaku punya sertifikat tanah yang ditempatinya. Rudi juga tidak mendapat ganti rugi apapun dari pengosongan tanah tersebut. Warung beserta posko partai pemenang pilkada di Kota Probolinggo juga lenyap. "Saya berharap masih ada celah dari permasalahan ini. Karena sebenarnya tanah ini adalah aset negara," ujarnya. (yud)

Sumber: http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=171402

Tidak ada komentar:

Posting Komentar