Kamis, 10 Juni 2010

Mendengar Suara Sebagian Warga Kota Probolinggo soal Konversi Mitan

[ Kamis, 10 Juni 2010 ]
Sudah Menunggu-nunggu, tapi Dihinggapi Kekhawatiran

Program konversi minyak tanah (mitan) ke elpiji di Kota Probolinggo rencananya dilaksanakan akhir Mei lalu. Tapi nyatanya molor sampai saat ini. Berikut suara sebagian warga kota soal konvensi mitan.

RUDIANTO, Probolinggo

Bila konversi sudah direalisasikan secara menyeluruh, mitan bersubsidi tidak akan ada lagi. Yang ada hanya mitan non-subsidi dengan harga diperkirakan mencapai Rp 7 ribu perliter. Tapi, bila proses konversi belum tuntas, mitan masih bersubsidi dengan harga sekitar Rp 3 ribu perliter.

Semula, konversi mitan ke Elpiji di Kota Probolinggo bakal direalisasikan pada akhir Mei. Pertamina menyiapkan 65 ribu paket untuk kota ini. Dalam program tersebut, masyarakat akan mendapatkan sepaket konversi, berupa elpiji 3 kg, kompor, selang dan regulator.

Pendataan kepada calon penerima sudah dilakukan. Tapi, karena beberapa faktor, program konversi molor direalisasikan. "Sudah, saya sudah didata, tapi belum tahu kapan kompornya akan dikirim," ujar Bu Mukasri, seorang warga Mayangan.

Ada 42 surveyor menyebar di kota. Mereka yang mendata siapa dan ada berapa keluarga yang layak mendapatkan konversi tersebut. Diharapkan, pada 13 Juni program itu sudah selesai.

"Kalau menurut saya, ya lebih cepat lebih baik. Karena memang sudah lama saya menunggu. Apalagi, saat ini minyak (mitan) semakin sulit," ujar Bu Mukasri.

Tak semua orang bisa dengan mudah menerima program konversi. Ini bukan hanya persoalan kebiasaan. "Sebenarnya, kalau disuruh memilih (antara mitan dan elpiji), lebih baik pakai minyak tanah. Selain khawatir meledak, kami juga terbiasa menggunakan kompor minyak," jelas Mukasri.

Sosialisasi dilakukan. Tapi, kabar adanya kompor gas meleduk yang terjadi beruntun belakangan ini memunculkan kekhawatiran. Warga minta sosialisasi lebih digencarkan.

"Kalau lihat di daerah lain banyak yang meledak, mungkin perlu diajari dulu bagaimana supaya tidak sampai meledak. Tapi, katanya yang jelek itu regulator dan selangnya. Itu sudah saya rencakan kalau nanti dapat akan langsung saya ganti," kata Mukasri lagi.

Lain Mukasri, lain Bu Mi, warga Kelurahan Ketapang. "Kalau menurut saya lebih irit dan lebih baik pakai tumang (tungku berbahan bakar kayu). Bahan bakarnya lebih mudah saya dapatkan. Kalau pakai elpiji, saya harus beli. Kalau pakai kayu, saya bisa cari," ujar Mi.

Alasan lainnya bagi Bu Mi, memasak dengan tumang menghasilkan masakan dengan aroma lebih enak. Itu yang membuatnya rada sulit berpindah dari tumang ke kompor gas.

Walau begitu, Bu Mi tak bakal menolak konversi. "Kalau dikasih kompor gas, tidak apa-apa. Akan saya terima. Tapi, masalah dipakai atau tidak, apa kata nanti..." ujarnya enteng. "Tapi, jangan bilang-bilang kalau saya tidak suka pakai kompor gas. Malah nanti saya bisa-bisa tidak dikasih," tambah Bu Mi.

Samsiah, warga asal Kelurahan Kanigaran juga mengaku sudah menunggu-nunggu program konversi. "Kalau saya dapat ya mau dipakai. Karena memang sudah lama saya menunggu," ujarnya.

Tapi, ia juga agak terpengaruh oleh kejadian-kejadian meledaknya kompor dan tabung gas belakangan ini. Itu membuat Samsiah agak ragu. "Nanti kami coba dulu. Kalau lebih baik pakai minyak tanah, ya kembali ke minyak tanah," ujarnya.

Ada pula yang menganggap penggunaan kompor gas identik dengan kelas menengah ke atas. Sehingga mereka yang menggolongkan diri kelas bawah juga ingin bisa merasakan menggunakan kompor gas.

Ini seperti diungkapkan Maimunah, warga asal Wonoasih. "Kok chet la bileh terro atana'ah ngangguy kompor gas. Tape, tak kellem ka tekkah. Mandher beih sateyah katekka'ah, caen tak usah majer? (Saya memang sudah lama ingin memasak menggunakan kompor gas. Tapi, belum tercapai. Semoga saja sekarang tercapai, katanya tidak usah bayar)," ujar Maimunah. "Seumur-umur, saya belum pernah menggunakan gas (elpiji)," lanjutnya.

Sekali lagi, umumnya warga menyambut baik program konversi mitan. Hanya, sebagian besar masih dihantui oleh kekhawatiran terjadi kecelakaan seperti yang beberapa kali terjadi di daerah lain belakangan.

"Dek remmah mun ledhuk, engak e tv rowa. Kan benyak se ledhuk? (Gimana kalau meledak, seperti di TV itu. Kan banyak yang meledak?)," tanya Hafidzah, seorang ibu rumah tangga asal Kelurahan Kedopok.

Meski tak pernah mengalami sendiri, tapi berita tentang peristiwa itu cukup membuatnya waswas. "Caen nanbhu beccek kadek ma'le tak ledhuk. Ben tak kenning ben saroben, polan mon sala kempang ledhuk. Dekkih, kon mon la olle mintaan ajeri kadek caranah dek remmah. (Katanya perlu diperbaiki dulu biar tidak meledak. Dan, tidak boleh sembarangan, karena mudah meledak. Nanti, kalau saya sudah dapat mau minta diajari dulu cara pemakaianya seperti apa)," ujar Hafidzah. (yud)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=163706

Tidak ada komentar:

Posting Komentar