Senin, 25 Oktober 2010

Masyarakat Tengger Rayakan Hari Raya Karo

Senin, 25 Oktober 2010 | 10:55 WIB

PROBOLINGGO - Masyarakat Tengger di lereng Gunung Bromo, Kab Probolinggo merayakan Hari Raya Karo. Di tiga desa, yakni Jetak, Wonotoro, dan Ngadisari di Kec Sukapura, Hari Raya Karo selalu diwarnai ritual Tari Sodoran.

Sesuai namanya, Hari Raya Karo digelar pada bulan kedua (karo) pada kalender Tahun Saka. “Pada tahun 1932 Saka sekarang yang menjadi tuan rumah Desa Jetak,” ujar Mbah Sutomo, dukun Tengger usai ritual Tari Sodoran di Balai Desa Jetak, Minggu (24/10).

Tuan rumah ritual Karo memang digilir di antara tiga desa, Jetak, Ngadisari, dan Wonotoro. Saat Jetak menjadi tuan rumah, warga Tengger dari Ngadisari dan Wonotoro pun pun berbondong-bondong datang ke Jetak.

Ratusan warga dari tiga desa itu tumpah ruah memenuhi Balai Desa Jetak sejak sekitar pukul 08.00. Anak-anak, remaja, hingga orang tua mengenakan pakaian adat Tengger berwarna hitam, termasuk ikat kepala dan kain kuning dililitkan di pinggang.

Mereka duduk berjajar “mengepung” takir kawung dari janur, yang berisi nasi berserta lauk-pauk dan jajanan tradisional. Di tengah-tengah balai desa sengaja dikosongkan untuk arena Tari Sodoran.

“Tari Sodoran menggambarkan asal usul penciptaan jagat dan manusia, selalu digelar saat Hari Raya Karo,” ujar Mbah Sutomo. Dimulai dari prosesi besanan, sehingga pengantin didudukkan di balai desa.

Ketika pengantin yang diwakili laki-laki, sudah bersanding, gamelan membahana, penari-penari Sodoran, yang semuanya laki-laki, dengan gemulai berjalan sambil melenggangkan tangan. Mereka menunjuk penari pengganti dengan cara memberi sarak. Mereka yang terkena sarak tak boleh menolak untuk melanjutkan tarian.

Ketika para laki-laki larut dalam gamelan dan gemulai Tari Sodoran, para perempuan Tengger berbondong-bondong menuju balai desa. Mereka berjalan beriringan sambil membawa rantang berisi makanan yang akan disantap usai ritual Karo.

Bupati Drs Hasan Aminuddin MSi bersama Dandim 0820 Letkol Inf Heri Setiyono menyempatkan hadir pada perayaan Hari Raya Karo. “Selain merupakan ritual adat Tengger, Hari Raya Karo merupakan sajian wisata yang menarik bagi wisatawan,” ujar bupati.

Menurut peneliti Tengger dari Universitas Jembber, Prof Dr Simanhadi Widya Prakosa, Karo merupakan ritual adat Tengger. Tidak ada kaitannya dengan agama Hindu Dharma yang mereka anut. Karo dirayakan untuk mengenang penciptaan jagat gede (alam semesta) dan jagat cilik (manusia). Prosesi penciptaan kedua jagat itu dilambangkan dalam gerakan-gerakan penari Sodoran.

“Namanya berhari raya, seperti halnya saudara-saudara kami umat Islam saat merayakan Idul Fitri, warga Tengger pun beranjang sana (silaturahmi, Red.) dari rumah ke rumah,” ujar Kades Ngadisari, Supoyo. Hari Raya Karo sudah diperingati diperingati masyarakat Tengger sejak tahun 1700-an Masehi. Indikasinya, bisa dilihat dari kepingan mata uang logam yang dimasukkan dalam celengan sebagai sesaji upacara beruap uang VOC tahun 1790. isa

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=dad3125a1f906d69e3f0df58fab41ae3&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar