Minggu, 27 Juni 2010

Polusi Buruk Jadi Kota Kematian

Minggu, 27 Juni 2010 | 11:47 WIB

Polusi mengakibatkan kecerdasan warga kota menurun drastic dan temperamental

PROBOLINGGO - Kota-kota yang manajemen kepemimpinannya tidak ramah lingkungan sebenarnya mengarah pada kota kematian (nekropolitan) bukan kota raya (metropolitan). Masalahnya dampak lingkungang buruk membuat kualitas warga kota menurun drastis dari segi fisik maupun psikisnya.

“Selain demokrasi dan HAM, isu lingkungan menjadi perhatian utama dunia. Banyak kota di dunia termasuk di Indonesia yang mengarah pada nekropolitan bukan metropolian,” ujar Dr H Suparto Wijoyo, pakar hukum lingkungan dari Unair dalam seminar Perencanaan Pembangunan Berbasis Partisipatif di ruang Puri Manggala Bhakti, Pemkot Probolinggo, Sabtu (26/6).

Seminar dalam rangka rakor Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Seminggu di Kota Probolinggo (Semipro) dan Pekan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) yang digelar 26 Juni-3 Juli itu juga menghadirkan narasumber HM. Buchori SH MSi (Walikota Probolinggo), Djarot Saiful Hidayat (Walikota Blitar), dan Guritno Surjodibroto (GTZ, LSM lingkungan dari Jerman).

Lingkungan buruk di sejumlah kota besar di Indonesia misalnya, kata Suparto, mengakibatkan kualitas hidup warganya juga menurun. Hal itu terungkap dalam penelitian di sejumlah kota seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan. “Lingkungan yang tercemar memicu warganya bersifat temperamental,” ujarnya.

Polusi yang menyembul di udara, darat, dan air membuat warga kota mudah marah dan bertindak anarkis. Polusi juga mengakibatkan kecerdasan warga kota menurun drastis. “Peraih nilai tertinggi Unas dari SD, SMP, hingga SMA tidak ada lagi yang berasal dari kota-kota besar,” ujarnya.

Suparto mengaku, pernah meneliti kualitas air susu ibu (ASI) dengan 1.000 responden ibu-ibu di 10 kota di Indonesia. “Menurut WHO, ASI normal kandungan timbal (Pb)-nya paling tinggi 5 miligram/liter. Temuan kami, ternyata ASI ibu-ibu yang kami teliti ada yang timbalnya 543 miligram atau 100 kali melebihi batasan yang dipatok WHO,” ujar pria asal Lamongan itu.

Tercemarnya ASI oleh logam berat seperti timbal, mercuri, cadmium, dan besi mengancam kesehatan bayi-bayi di Indonesia. “Bukan hanya bayi-bayi yang terancam ASI tercemar, juga bapak-bapak,” ujar Suparto disambut tertawa ngakak hadirin.

Gairah Seksual Menurun

Suparto juga mengaku, pernah meneliti gairah seksual warga kota besar. “Ibu-ibu di perkotaan 56 persen mengaku tidak bisa orgasme. Bapak-bapak juga ikut loyo,” ujarnya disambut ger-geran hadirin.

Lantaran buruknya lingkungan, warga kota pun banyak dihinggapi penyakit diare. “Di tahun 2010 ini banyak warga yang mati akibat diare, atau bahasa lainnya mencret. Penyakit yang tidak ‘bergengsi’ dibandingkan jantung,” ujarnya.

Suparto menyitir jumlah penduduk Jakarta yang mencapai 13 juta di siang hari, dan pada malam hari berkurang menjadi 8 juta. Beda lagi versi sebuah majalah berita mingguan, penduduk Jakarta 8 juta di siang hari dan 12 juta di malam hari.

Soal sanitasi di Jakarta misalnya, belum dikelola dengan baik. “Kalau setiap orang Jakarta BAB (buang air besar)-nya sekitar setengah kilogram, dengan jumlah penduduk 8 juta, berarti ada 4 juta kilogram tinja per hari,” ujarnya.

Sisi lain, tinja itu dibiarkan terbuang percuma tanpa dimanfaatkan.”Padahal tinja sebanyak itu jika dimasukkan septic tank terpadu bisa menjadi gas methan, atau untuk pakan hewan,” ujarnya.

Tinja yang banyak mencemari perairan sungai juga berdampak buruk. “Karena bahan bakunya dari air sungai, PDAM itu kependekan dari Perusahaan Daerah Air Mateni (mematikan, Red.),” ujar Suparto.

Sejumlah daerah masih dipimpin dan dimanajemeni tidak cerdas. Kepemimpinan culas ini ditunjukkan dengan kapitalisasi, penyalahgunaan tata ruang, dan eksploitasi sumber daya alam. “Pasar yang tradisional dipinggirkan, yang modern dipusatkan. Tata ruang menjadi tata uang ibarat banyak ruang banyak AC dan banyak uang banyak Acc,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin. Kalau dulu ada demokrasi terpimpin, kata Suparto, kini ada eksploitasi (alam) terpimpin. “Sekarang mau nebang kayu, mau eksploitasi tambang melalui izin ke pemerintah. Melalui perizinan, siapa pun secara legal bisa mengeksploitasi alam,” ujarnya. isa

Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=e35e96fc21fe5684b18414492140cc64&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar