Rabu, 27 Oktober 2010

Suami Riska Tewas, Bayinya yang Mirip Almarhum Jadi Pelipur Lara

Rabu, 27 Oktober 2010 | 10:36 WIB

Oleh Iksan Mahmudi

Banjir bandang di Wasior, Papua Barat, 4-6 Oktober lalu juga menghancurkan impian Abdullah dan keponakannya, Riska Yuni Rahmawati (25). Masa depan yang mereka bangun berantakan.

MERANTAU di Wasior sejak Oktober 2009, Abdullah sebenarnya sudah punya tabungan Rp 18,7 juta. Namun tabungan hasil ngojek yang dia kumpulkan berbulan-bulan itu ditelah air bah. ’’Motor saya ada dua, satu selamat, satu lagi hanyut,” ujarnya.

Abdullah bersama eks perantau Probolinggo yang kembali dari Wasior, Senin (25/1), berkumpul di rumah Agus Sudarsono (51), warga RT 05/RW 02, Dusun Triwung, Desa Warujinggo, Kec Leces. Agus adalah orang yang dituakan dalam kelompok perantau itu karena dialah yang mengajak mereka ke Wasior.

Termasuk yang ikut kumpul-kumpul adalah Riska Yuni Rahmawati, keponakan Agus. Dia mengaku tidak bisa melupakan banjir Wasior. Suaminya, Karel Paulus, seorang polisi, menjadi korban banjir dan meninggal dalam perawatan di rumah sakit.

Anak semata wayangnya, Kevin Karel Rumadas (8 bulan) menjadi satu-satunya penghibur. “Anak saya fisiknya persis ayahnya yang memang asli Papua,” ujar Riska sambil menggendong bayinya.

Sementara itu kedua orangtua Riski, Rahmad dan Elly, keponakan Riska, hingga kini tetap bertahan di Wasior. “Mas Rahmad, kakak kandung saya, sengaja tidak pulang ke Probolinggo karena menunggu harta benda yang tersisa,” ujar Lilik.

Selama bekerja di Wasior, para pekerja ini tinggal di rumah kontrakan. “Di sana biaya hidup mahal, rumah petak kontrakan Rp 400 ribu per bulan,” ujar Rudi Sudarsono, mantan perantau di Wasior lainnya.

Sepengetahuan Rudi, ada 12 pekerja asal Probolinggo yang bekerja di Wasior. Pasca banjir bandang, sebanyak 7 orang memilih pulang kampung. “Alhamdulillah semuanya selamat dari banjir bandang,” ujar Agus.

Murahman, eks perantau lainnya, belum bisa melupakan air bercampur lumpur dan gelondongan kayu seperti ditumpahkan dari langit. “Bunyi batu beradu dengan kayu-kayu gelondongan benar-benar mengerikan. Saat banjir surut, timbunan lumpur di Pasar Baru, Wasior hingga ketinggian 2-3 meter,” ujarnya.

Agus, eks perantau lainnya, menceritakan, dirinya diikuti sejumlah warga lain sempat melarikan diri dengan ngebut naik motor ke arah atas (gunung). “Tidak tahunya air dari gunung, kami pun terbirit-birit kembali ke bawah, menyelamatkan diri,” ujarnya.

Data Posko Darurat Bencana Banjir Bandang Kab Telukwandana, Papua Barat diketahui ada 20 pekerja asal Jatim, termasuk 7 pekerja asal Probolinggo, pulang. Mereka tidak tahan hidup di tenda daurat di lapangan tembak Makodim Manukwari, 6-20 Oktober. “Kami tidak kerasan tinggal di tenda-tenda yang dihuni sekitar 4.700 pengungsi,” ujar Murahman, eks perantau lainnya.

Akhirnya, bersama 20 pengungsi asal Jatim, ke-7 perantau asal Probolinggo itu bertolak ke Tanjung Perak, Surabaya, Rabu (20/10). “Kami naik KM Labobar, tiba di Surabaya, Kamis (21/10),” ujar Rudi Wahyudi. Sebelumnya dalam perjalanan laut Wasior-Manukwari, Rudi sempat menumpang kapal patroli. “Saya berbaur dengan belasan jenazah korban banjir yang akan dikirim ke Manokwari,” ujarnya.

Disinggung apakah mereka bakal kembali ke Wasior, Agus dan sejumlah pekerja asal Probolinggo mengaku masih pikir-pikir. “Kalau saya sudah bertekad ingin kembali ke Papua. Kalau ada yang meminjami uang Rp 1 juta, saya bukan meminta bantuan lho, saya berangkat kembali ke sana,” ujar Murahman. *

Suimber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=946a74e58ff86d50c79ba0c5b146169b&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar